Sabtu, 08 Agustus 2015

Cerpen : Teori Kebahagiaan

Note : cerita ini dibuat karena kegalauan gue setelah otp gue udah nggak bersama lagi TT TT

Teori Kebahagiaan


Ketiga murid SMA itu menatap layar televisi dengan serius. Suara tembakan senapan terdengar dari pengeras suara yang tersambung dengan televisi. Dua dari mereka duduk di atas karpet sambil menyandarkan punggungnya di tepi tempat tidur, sementara yang satunya duduk di atas tempat tidur berseprai putih tersebut. Seragam putih yang saat di sekolah mereka masukkan ke dalam celana, kini sudah berada di luar.

"Eh bosen nih gue.", ucap laki-laki yang duduk di bawah.

Namanya Jodi, dia punya nama yang sebagus tampangnya. Siapa yang tak kenal dia? Dia cowok yang jadi sangat populer di sekolah semenjak mengikuti ajang modeling antar kelas. Foto-fotonya selalu terpajang di majalah sekolah yang terbit tiap dua minggu sekali.

Di sampingnya ada Danar, cowok yang aktif di kegiatan OSIS. Dia pemilik kamar yang mereka bertiga tempati. Danar mematikan televisi dengan remot saat rasa jenuhnya muncul karena menonton film yang bahkan dia tak bisa mengerti alurnya.

"Gimana kalau kita cerita-cerita aja?", kata Danar.

"Boleh deh, kalian ngomong apa aja terserah dah. Gue bakal dengerin", balas Jodi yang tak punya pilihan.

"Siapa dulu yang cerita nih?", tanya Danar.

"Elo, Er!", Jodi menepuk paha cowok yang duduk di atas tempat tidur.

Cowok bernama Dimas ang sering dipanggil dengan panggilan DR itu terkejut saat Jodi menegurnya. Dia langsung menengok ke wajah Jodi yang sedang tersenyum padanya.

"Gue? Gue cerita apa ya....", Dimas memutar bola matanya ke atas seperti sedang berpikir.

"Eh gini, lo lagi suka sama siapa, Er?", tanya Danar yang membuat DR kembali terkejut.

"Oh iya! Akhir-akhir ini lu kan aneh tuh suka senyum-senyum sendiri, pasti ada sebabnya lah. Cerita dong, perasaan gue nggak pernah denger lu ngomongin soal cewek dah.", timpal Jodi bersemangat.

Topik tersebut menambah antusias Danar hingga dia juga jadi ikut penasaran untuk mendengar jawaban Dimas.

"Gak jelas lo, Jod!", balas Dimas sambil terkekeh. "Tapi.. gue ada seseorang yang gue suka."

"Ah udah gue duga! Siapa, Er? Gue kenal nggak?", tanya Jodi yang langsung mencerca Dimas dengan pertanyaan-pertanyaannya.

"Nanti gue kasih tau kok.", jawab Dimas dengan santai, masih dengan senyum kecilnya.

"Gue akan kasih tau siapa yang gue suka waktu kita lulus nanti."

***

Di kelas dua, hampir lebih dari delapan jam tiap hari Jodi melihat wajah Dimas. Ya, karena memang mereka sangat dekat. Bahkan sejak Jodi belum seterkenal sekarang pun, mereka sudah sering bersama. Mungkin yang sering melihat Jodi dan Dimas bersama, akan berpikiran bahwa mereka sudah bersahabat sejak lahir atau apalah. Tapi kenyataannya mereka baru dekat selama hampir satu tahun.

Kalau saja waktu tahun ajaran baru saat mereka baru masuk kelas dua, mereka aktif di ekstrakurikuler, mungkin mereka tidak akan sedekat itu. Di tahun ajaran baru, siswa yang aktif di kegiatan ekstrakurikuler akan sangat sibuk untuk persiapan demo ekskul sehingga kelas akan sangat sepi. Tapi Jodi dan Dimas tidak, mereka tidak aktif di ekskul mana pun sehingga waktu teman-teman mereka sedang sibuk, mereka justru berkenalan dan mulai berteman.

Sementara Danar adalah teman yang duduk di samping Dimas di kelas dua. Dia juga merupakan ketua kelas di kelas tersebut. Dia sangat ramah dan gampang bergaul sehingga dia punya banyak kenalan di sekolah.

Ada satu hal yang membuat Jodi senang berbicara pada Dimas, yaitu wajah lawan bicaranya sendiri. Biarpun cukup pendiam, Dimas termasuk ekspresif kalau sedang ngobrol. Kalau sedang tertawa, matanya akan terlihat seperti garis karena pipinya yang tembem. Maka dari itu Jodi tidak pernah melepas pandangannya dari Dimas saat mereka sedang ngobrol.

Tetapi sepanjang hari itu, baru kali itu Dimas tidak menunjukkan tawa khasnya. Melainkan pandangan mata yang penuh kesedihan. Pipinya terus basah karena air matanya tidak berhenti menetes. Di sampingnya, seseorang yang begitu dekat dengannya tidak pernah melepas rangkulannya sedetik pun.

Waktu sudah menunjukkan hampir jam sembilan malam, tamu-tamu sudah mulai meninggalkan rumah duka. Seorang wanita yang berusia sekitar 30an yang merupakan saudara dari almarhumah ibunya, membersihkan dan merapikan sisa-sisa jamuan di malam itu.

"Minum dulu ya? Bibir lo sampe kering gitu", ucap Jodi dengan suara lembut sambil menyodorkan air dalam kemasan gelas yang sedari tadi belum disentuh Dimas.

Dimas menggerakkan kedua tangannya lalu mulai menyeka air matanya. Akhirnya dia mengalihkan pandangannya ke wajah Jodi. Untuk pertama kalinya pada hari itu Dimas memberikan senyumannya walau kurang dari sedetik.

"Makasih ya", suara serak Dimas terdengar pelan saat dia membuka mulutnya.

Dimas menerima air yang Jodi berikan lalu menempelkan sedotan plastik yang tertusuk di gelas tersebut ke bibirnya. Dimas meminum air di gelas tersebut sampai habis sebelum dia meletakkan gelas tersebut dalam posisi terjatuh.

"Pokoknya lo nggak usah sedih, nggak usah takut. Karena gue masih ada gue yang bakal ngejagain lo. Kalo lo perlu apa-apa, langsung kasih tau gue aja", ucap Jodi dengan mata yang juga berkaca-kaca.

Jodi terus melihat ke Dimas walaupun Dimas terus menatap ke arah lain dengan pandangan kosong.

"Oh iya, gue kan bawa saputangan! Kenapa nggak dari tadi sih, aduuh", Jodi merogoh tasnya yang dia jadikan sandaran punggungnya ke tembok. Terlalu memperhatikan Dimas membuat dia lupa bahwa dia punya saputangan yang bisa Dimas gunakan untuk mengelap air matanya.

"Ini, Er", Jodi menyodorkan saputangan berwarna biru tua yang terbungkus kotak kecil kepada Dimas dengan kedua tangannya.

Dimas melihat kotak berisi saputangan itu tetapi enggan mengambilnya.
"Bukannya kata lo itu saputangan paling mahal yang lo punya, bahkan saking mahalnya lo nggak mau make", balas Dimas sambil nyengir walaupun matanya bengkak karena banyak menangis.

Jodi tertawa kecil, dalam hatinya dia merasa lega bisa kembali melihat temannya tersenyum di tengah cobaan berat yang dia hadapi.
"Kali ini 'dia' buat lo, untuk DR.", balas Jodi yang lalu membuka kotak itu dan mengambil isinya. Kemudian Jodi meletakkan saputangan tersebut di atas tangan Dimas yang terbuka.

"Gue bakal jaga saputangan ini baik-baik", kata Dimas sambil memegang kedua sisi saputangan itu dengan kedua tangannya.

"Gini dong, kalo lo ceria, gue yakin nyokap lo bakal tenang di sana. Yang penting, lo tetep jalanin hidup lo, tetep semangat.", ucap Jodi sambil merangkul pundak Dimas dengan semangat.

"Kita bakal terus bareng-bareng walaupun kelas kita udah beda."

***

Sudah lebih dari dua bulan Dimas menjalani harinya sebagai siswa kelas 3 yang kurang dari satu tahun lagi berada di sekolah menengah atas tersebut. Dia mulai akrab dengan beberapa teman barunya yang dulu tidak sekelas dengannya.

Dimas memandangi lengan pendek bagian kiri seragam putihnya, jemari tangan kanannya menyentuk ujung lengan tersebut lalu menurunkannya agar perban putih di lengan kirinya tertutup lengan seragam. Dimas menggendong tasnya lalu berjalan keluar kelas setelah dia mengangkat kursi ke atas mejanya.

Ruangan kelas Dimas berada di pojok dalam lorong sehingga biarpun matahari sedang terangpun, tempat itu selalu gelap. Keluar dari lorong itu, Dimas melewati kelas Jodi yang pintunya masih tertutup karena kegiatan belajarnya belum selesai.

Dimas mengangkat kedua tangannya lalu menghitung dengan jari-jarinya. Sudah hampir sebulan dia dan Jodi tidak saling berbicara. Dimas berjalan mendekati jendela lalu mengintip kelas Jodi. Ternyata murid-murid sedang berdoa, berarti Jodi akan keluar sebentar lagi.

"Er!", suara Danar terdengar dari kejauhan.

Dimas menengok ke asal suara itu lalu melihat Danar yang berlari ke arahnya.

"Hei", Dimas tersenyum sambil melambaikan tangannya.

"Nungguin Jodi?", tanya Danar.

"Ah nggak, kebetulan lewat aja", jawab Dimas.

"Eh lo belom tau, Er? Si Jodi baru jadian!", kata Danar bersemangat namun dengan sedikit berbisik.

Dimas langsung membelalakkan matanya. Kemana saja Jodi sampai dia harus mendengar berita itu dari Danar? Dimas terdiam untuk beberapa saat, termenung dalam pikiran akan keraguannya dengan persahabatannya dengan Dimas.

"Sa-sama siapa?", tanya Dimas dengan suara pelan.

Danar berbalik arah lalu menunjukkan telunjuknya pada seorang cewek berambut panjang sebahu dengan tas berwarna merah marun. Cewek itu juga berdiri di depan kelas Jodi, beberapa meter dari Dimas dan Danar.

"Ovi, sekelas sama gue. Cocok banget mereka, sama-sama cakep! Ah gue jadi pengen cari cewek juga, lo gimana Er?", tanya Danar.

Dimas memandang Ovi yang katanya Danar merupakan pacarnya Jodi dengan pandangan kosong. Memperhatikan cewek itu dari atas sampai bawah.

"Yaah lo cemburu ya? Lo pernah suka kan sama Ovi dulu?", ledek Danar sambil tertawa puas.

Namun Dimas tidak merespon, tetapi terus memperhatikan cewek itu.

"DR?", panggil Danar lagi.

"Ah, apa?", tanya Dimas yang kebingungan.

Sebelum Danar mengomel tentang Dimas yang menyueki dia waktu dia ngomong, pintu kelas Jodi terbuka dan seorang guru keluar disusul dengan murid-muridnya. Di antara murid-murid itu, Jodi muncul dan langsung menghampiri Danar dan Dimas.

"Jodi!", panggil Dimas.

Jodi sempat menengok ke arah lain seperti mencari tahu siapa yang memanggilnya, senyumannya langsung muncul saat dia melihat Dimas.

"Er! Kangen banget gue sama lo!", Jodi langsung memeluk temannya itu dengan gemas.

Jodi melepas pelukannya lalu melihat ada Danar di samping Dimas, ekspresinya langsung berubah.

"Ya elah lo lagi", ledek Jodi dengan maksud bercanda.

"Idih belagu, sombong lu ya sekarang!", Danar mendorong pundak Jodi sambil tertawa meledek.

Jodi melihat Ovi yang sedang mau menghampirinya, namun Jodi memberi isyarat "tunggu ya" sambil tersenyum pada cewek itu.

"Er lo gimana? Sehat-sehat aja kan?", tanya Jodi.

"Iya, gue nggak apa-apa kok."

"Aduh tugas banyak banget ya, nggak abis-abis. Satu selesai, eh ada lagi. Gila gue lama-lama.", keluh Jodi sambil memegangi kepalanya.

Dimas dan Danar mengiyakan perkataan Jodi. Mereka mengobrol untuk beberapa saat, memanfaatkan waktu untuk bersama-sama walau sebentar.

"Jod, film yang pengen lo tonton itu udah keluar. Hari Sabtu nonton yuk?", ajak Dimas.

"Iya Jod, kita nonton!", timpal Danar.

"Aduh kayaknya Sabtu ini nggak bisa deh, gue ada jadwal pemotretan buat dikirim OSIS ke majalah gitu.", jawab Jodi dengan wajah kecewa. Dia merasa bersalah karena sudah kesekian kalinya menolak ajakan temannya itu.

"Gaya banget sih lo! Dulu aja pas masih dekel, nempelnya ama kita terus", sindir Danar dengan kesal.

"Sorry banget.", Jodi melengkungkan bibirnya ke atas sambil mempertemukan kedua telapak tangannya.

Dimas hanya menundukkan kepalanya, melihat sepatu hitamnya yang berpijak di atas lantai keramik putih. Jari-jari tangannya saling berkaitan di depan celananya. Tiba-tiba dia mengangkat kepalanya saat Jodi menepuk pundaknya.

"Eh gue duluan ya, 'dia' ada les bentar lagi jadi gue nggak bisa lama-lama.", kata Jodi yang ternyata memang sudah ditungguin cewek yang sedari tadi mondar mandir di depan kelasnya itu.

"Pacaran mulu lo, kayak punya duit aja buat ngapel. Hush hush!", Danar mendorong punggung Jodi dengan gemas lalu menendang betisnya.

Jodi tertawa-tawa pada Danar lalu dia menghampiri cewek yang berwajah manis dengan kulit yang putih pucat itu. Mereka sempat berbicara sebentar sebelum meninggalkan tempat itu.

"Nitip DR sama lo, ya!", kata Jodi yang sudah berjalan beberapa meter dari Dimas dan Danar.

"Songong banget dia sekarang.", cibir Danar sambil melipat tangannya. Kemudian dia merangkul pundak cowok yang ada di sampingnya itu.

"Ayo pulang, Er.", ajak Danar.

"Iya.", Dimas mengangguk pelan.

Danar berjalan di depannya sementara Dimas mengikutinya di belakang sambil menunduk. Dimas memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celananya lalu mengambil sesuatu. Yaitu tiga lembar kertas berwarna kuning yang terlipat, Dimas membuka lipatan tersebut. Tiket film yang dia dapatkan dari tantenya itu batas akhir digunakannya Sabtu minggu itu.

"Buat lo nih.", kata Dimas sambil menyodorkan tiga tiket yang dia miliki itu pada Danar saat mereka sudah sampai di parkiran motor.

"Eh apaan ini? Tiket gratis?", tanya Danar sambil memperhatikan kertas-kertas kuning tersebut. "Batesnya Sabtu minggu ini, yaudah kita nonton berdua aja nggak usah sama Jodi. Atau ajak yang lain lagi!", kata Danar yang langsung jadi bersemangat nonton film walaupun sebetulnya dia tidak tahu itu film apa tapi karena gratis ya buat apa dia tolak?

"Sabtu ini nggak bisa, gue baru inget gue ada urusan.", jawab Dimas datar sebelum wajahnya tertutup sebuah helm berwarna putih.

***

Pelajaran di jam sebelum istirahat di kelas Jodi berakhir lebih cepat, jadi Jodi bisa keluar kelas sebelum bel istirahat berbunyi.

Jodi menutup buku catatannya dan meletakkan pulpen birunya ke dalam tempat pensilnya. Mulutnya berkomat-kamit mengatakan sesuatu tanpa suara. Setelah jam istirahat dia akan ada ulangan Biologi, jadi Jodi memanfaatkan waktu yang ada untuk melatih hafalannya.

"Kantin yuk, Jod.", ajak Bima, teman barunya di kelas 3.

Jodi mengangguk antusias lalu beranjak dari kursi kayunya. Mereka berjalan bersama menuju kantin. Beruntung kantin masih sepi karena bel istirahat berbunyi masih lima menit lagi, tetapi ada beberapa murid dari kelas lain maupun dari kelasnya yang sudah ada di sana.

Jodi berhenti di depan etalase milik tukang nasi uduk dan memesan satu porsi untuk dirinya. Di sebelahnya ada seorang cowok lain yang sedang memesan makanan juga di tempat itu.

"DR?", panggil Jodi sambil menepuk pundak cowok itu pelan.

Cowok itu menengok dan ternyata benar itu Dimas. Sudah tiga hari Jodi tidak berpapasan langsung dengan Dimas, hari itu pasti sebuah kebetulan. Namun ada yang berbeda pada wajahnya sehingga membuat Jodi tertegun. Jodi menemukan luka lebam kecil keunguan di pelipis Dimas. Tidak hanya itu ada bekas kemerahan seperti luka sayatan di dekat bibirnya.

"Elo kenapa, Er?", tanya Jodi dengan sedikit menahan suaranya.

"Kenapa apanya?", tanya Dimas sambil menatap Jodi.

"Itu.. muka lo. Lo abis berantem?", tanya Jodi lagi, ekspresi kengerian terlihat jelas di wajahnya.

Dimas menepis tangan Jodi yang menyentuh pipinya lalu membalas pertanyaan Jodi dengan senyuman.

"Gue nggak apa-apa, ini tuh bekas jatuh dari motor.", jawab Dimas seraya mengalihkan pandangannya dari Jodi.

"Jatoh dari motor?! Lo--", Jodi jadi semakin terkejut.

"Udah lama Jodi, ini bekasnya doang. Gue beneran nggak apa-apa.", jawab Dimas dengan suara yang sedikit ditinggikan. "Kalo nggak percaya tanya Danar aja.", tambah Dimas.

"Lo luka di mana lagi? Masih sakit?"

"Apa sih, Jod, lu kira gue cewek apa gini aja pake sakit-sakitan segala. Gue baik-baik aja, beneran.", jawab Dimas sambil menerima piring yang berisi nasi uduk pesanannya.
Dimas memutar badannya dan pergi mencari tempat duduk.

"Gue di sana ya.", kata Dimas sambil menunjukkan meja dengan kursi panjang yang saling berhadapan yang saat itu belum ditempati siapapun.

Tidak lama kemudian Jodi mengisi kursi panjang yang ada di seberang Dimas. Dimas sendiri sudah makan setengah nasi uduknya.

"Lain kali lo tuh hati-hati, Er. Biar lambat asal selamat lah", kata Jodi memulai pembicaraan mereka.

Dimas hanya manggut-manggut sambil mengunyah makanannya.

"Udah lama kita nggak makan bareng kayak gini ya.", kata Jodi sambil mengacak-acak nasinya dengan sendok.

"Liat cuy, indomie pake telor setengah mateng, kornet, keju. Tambah selai stroberi! Hahahaha!", Bima datang dengan suara tawanya yang menggelegar dan mengambil tempat duduk di samping Jodi.

Dia memamerkan makanan hasil desainnya itu kepada Jodi. Melihat isi mangkok yang Bima bawa saja membuat Jodi sudah yakin bahwa makanan itu sangat menjijikan.

Bima mengeluarkan smartphonenya lalu selfie dengan makanan aneh yang sebenarnya tidak ada di menu kantin itu.

"Eh ada DR! Eh.. itu muka lo kenapa?", tanya Bima yang dulu merupakan teman Dimas waktu SMP.

Belum sempat Dimas menjawab,  suara dengungan yang melengking terdengar selintas di telinga Dimas yang membuat kepalanya mendadak pusing.

"DR?!"

***

"Brak!"

Pintu kayu tersebut bergetar kecil saat ditutup dari luar dengan cara dibanting. Saking kencangnya pintu itu dibanting, membuat gantungan baju di pintu itu terjatuh.

Suara tangis yang ditahan disertai rintihan menahan rasa sakit terdengar di ruangan yang pengap dan berbau rokok itu. Telapak tangan yang Dimas penuh tetesan darah segar menutupi pinggiran mulutnya. Bagian bawah hidungnya juga basah dengan darah yang warna pekatnya sudah mulai pudar tersapu air matanya.

"Uhh..Hah.. Hah..", rintih Dimas sambil menendang-nendangkan kakinya.

Dia meringkuk di tempat tidurnya dengan tubuh gemetar. Dimas menarik tangannya dari mulutnya dan di tengah-tengah merahnya darah di telapak tangannya, ada sesuatu yang kecil dan padat yang tak lain adalah giginya lepas.

Dimas mengambil potongan foto yang tergeletak di dekat lututnya dengan tangannya yang masih berdarah-darah. Foto itu bukan sebuah foto utuh melainkan bagian dari sebuah foto yang sengaja dirobek. Ada tiga orang yang sedang tersenyum gembira di foto itu. Namun orang yang ada di tengah sengaja dicoret-coret dengan pulen hitam sehingga yang terlihat jelas hanyalah potret dirinya dengan Jodi.

***

Dimas memandang wajahnya di depan cermin kotak yang bagian pinggirnya sudah pecah. Dia sudah siap memakai seragam putihnya dan akan segera pergi ke sekolah. Garis-garis merah dan lebam keunguan terlihat jelas di pipinya yang putih. Dimas mengambil sebuah masker berwarna biru muda lalu memasangnya di wajahnya.

Dimas membuka pintu kamarnya. Seorang pria bertubuh tinggi dan berbadan besar yang berkulit agak gelap sedang duduk di meja makan membelakangi dirinya. Sinar matahari masuk dari jendela yang ada di dekat ruangan itu.

Dimas berjalan mendekati pria itu dengan perasaan was-was. Sebelum sempat menghampirinya, pria itu sudah berdiri dan berbalik arah menghadap Dimas.

"Kalau dipanggil itu langsung ke sini!",  kata pria itu dengan suara berat dan nada marah.

Dia menjambak rambut Dimas dan menyeret dengan paksa Dimas ke sebuah ruangan dengan bau menyengat. Pria itu menunjukkan Dimas sesuatu yang membuat lutut  Dimas lemas. Seekor kucing hitam mati bersimbah darah di atas lantai yang terbuat dari kayu. Dimas tahu apa yang harus dia lakukan karena hari itu bukan pertama kalinya dia ditunjukki hal menjijikan seperti itu di pagi hari.

Dimas mengangkat tubuh kucing malang tersebut dan membungkusnya dengan kain yang pria tadi berikan. Dimas menahan dirinya agar tidak muntah saat itu juga. Namun sesaat dia menjerit saat menyadari kain apa yang dia gunakan untuk membalut kucing itu.

***

Dimas memutar keran di wastafel yang terbuat dari batu yang dibentuk menjadi cekungan. Dia menyuci kain yang tadi dia gunakan untuk membungkus mayat kucing tadi, kain yang ternyata merupakan saputangan yang pernah Jodi berikan padanya.
Wastafel tersebut ada di taman kecil di depan ruang kelasnya yang langsung menghadap lapangan sekolah.

Dari sana, Dimas melihat
Jodi dan Ovi yang sedang berjalan bersama. Dimas tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan namun dia dapat menebak bahwa mereka sepertinya sedang bersenang-senang.

Kini dia dan Jodi hanya sekedar bertegur sapa jika berpapasan. Tiap Dimas menemuinya baik sengaja atau tidak sengaja, Jodi selalu bersama teman-teman barunya yang membuat Dimas merasa tidak nyaman.

Memakai masker di sekolah menjadi kebutuhan Dimas karena dia sudah kehabisan perban untuk menutupi luka-lukanya. Dimas cukup pandai beralasan  hingga dia dapat tetap memakai masker di kelas walau sedang ada guru.

Dimas menutup keran air setelah saputangannya dicuci bersih dengan sabun colek ukuran sachet yang dia beli sebelum berangkat sekolah. Dimas mendengar suara heboh dari lapangan lalu dia segera mengalihkan pandangannya ke sumber suara.

"Cieeee so sweet banget!", teriak orang-orang yang ada di sekitar Dimas dan sedang melihat kejadian itu.

Ternyata kejadian yang bikin heboh itu hanya Jodi yang memberikan seikat bunga yang dirangkai pada Ovi. Jodi tersenyum lebar sambil menyodorkan bunga itu sementara Ovi menutup mulutnya seperti sedang terharu.

Dimas menghela nafas lalu memutar tubuhnya membelakangi lapangan sekolah. Dia berjalan dengan lunglai menuju toilet sekolah di lantai satu. Dimas memasuki lorong gelap di mana toilet itu berada. Toilet itu jarang dikunjungi karena memang gelap dan terkesan menyeramkan sementara sekolah sudah membangun toilet-toilet baru di lantai satu yang lebih nyaman.

Dari lorong yang gelap Dimas melihat cahaya dari sisi kanan yang berasal dari ruang toilet itu sendiri. Dia berbelok ke sisi tersebut dan masuk ke ruang toilet untuk laki-laki. Di sana terpasang sebuah kaca besar di dindingnya yang agak kotor.

Dimas memandang wajahnya yang ditutupi masker di kaca tersebut. Masih ada 3 hari lagi sebelum ulangan akhir semester ganjil dimulai. Dia berpikir apakah dia akan berhasil atau tidak jika penyiksaannya terus berlanjut. Tapi tentu saja dia tidak mau jadi pengecut dengan kabur dari semua masalahnya. Dia sangat yakin dia tidak mau mati dalam keadaan hina seperti dirinya saat itu.

Dimas melihat sosok lain di belakangnya dari kaca tersebut. Dimas langsung menengok ke belakang dengan antisipasi. Ternyata sosok itu adalah Danar yang mau mengganti seragam putihnya ke seragam olahraga.

"Loh lo di sini?", ucap Danar sambil tersenyum, senyum yang selalu dia tunjukkan tiap bertemu sahabatnya itu.

"Ah iya, kebetulan.", jawab Dimas seraya membenarkan kerah bajunya.

Danar berjalan mendekati Dimas dengan perlahan setelah menyadari ada yang berbeda dari temannya itu.

"Kok suara lo aneh, Er?", tanya Danar.

"Karena gue pake masker kali.", jawab Dimas santai.

"Bukan", Danar menggeleng. "Suara lo bindeng gitu kayak orang flu."

Dimas menelan ludah, Danar bukan orang pertama yang mengatakan hal itu. Sebelumnya sudah ada beberapa orang termasuk guru yang mengajarnya mengatakan bahwa suaranya aneh padahal dia tidak sedang pilek sama sekali. Dimas berharap suaranya yang mendadak 'aneh' itu tidak ada hubungannya dengan pendengarannya yang sering hilang.

"Si Jodi bikin heboh di luar, alay banget.", kata Danar memulai gosipnya sambil melepas kancing seragam putihnya.

"Iya gue liat.", jawab Dimas lagi, kali ini dia bersiap akan meninggalkan ruangan tersebut.

"Eh tunggu!", Danar mengulurkan tangannya ke pintu keluar toilet laki-laki saat Dimas akan membuka pintu itu.

"Lo perasaan nggak pernah ngelepas masker lo deh, emang kenapa lo, Er?", tanya Danar sambil mengernyitkan dahinya.

"Gue nggak boleh ngelepas maskernya kata dokter.", jawab Dimas dengan cepat dan berusaha menepis tangan Danar yang menghadangnya.

Namun Danar malah tertawa seolah menganggap semua yang Dimas katakan hanya lelucon.

"Yaelah emang separah apa sih alergi lo sampe segitunya. Coba lepas, Er! Gue udah lama nggak ngeliat muka lo!", kata Danar yang masih menikmati candaannya.

Danar yang cukup pandai bela diri mengunci tangan Dimas lalu mendorong tubuh temannya itu ke tembok toilet yang dingin.

"Apa sih, Dan?! Nggak penting banget sih. Lepasin gue!", kata Dimas yang terus memberontak.

Tangan Danar sudah memegang tali masker yang melingkar di telinga Dimas, dia sudah tidak sabar membukanya.

Mendadak, suara dengungan yang melengking terdengar lagi di telinga Dimas yang membuat kepalanya sangat sakit. Suara Danar yang tertawa sambil tetap berusaha membuka maskernya hanya terdengar seperti gaung di tengah bukit. Saking pusingnya, dia tidak kuat melawan Danar.

"Jangan! Jangan dibuka!", jerit Dimas.

Nafas Danar langsung terhenti sejenak saat masker yang Dimas kenakan sudah berada di genggamannya. Bahkan masker yang Danar pegang itu langsung terjatuh ke lantai saking lemas tubuhnya melihat keadaan temannya itu. Wajah Dimas dipenuhi luka memar dan goresan-goresan merah, ada juga bekas luka bakar sundutan rokok yang tidak bisa hilang di bagian rahangnya.

Dimas menutupi wajahnya dengan sikutnya. Hal yang tidak dia inginkan terjadi, yaitu membiarkan temannya melihat sisi menyedihkannya.

"DR lo kenapa?! Kenapa lo kayak gini?", tanya Danar yang matanya mulai berkaca-kaca karena syok. Danar mengguncang-guncang pundak Dimas, memohon agar Dimas menjawabnya.

"Siapa yang bikin lo kayak gini, Er?!", bentak Danar.

Dimas tidak menjawab, namun dia mulai meneteskan air mata dalam pelukan Danar.

***

Hari-hari berikutnya Dimas tidak dapat ditemukan di kelasnya. Jodi menghentakkan kakinya dengan kesal setelah mendengar jawaban teman sekelas Dimas, bahwa Dimas tidak masuk sekolah.

"Tapi gue denger katanya guru BK bakal dateng ke rumahnya hari ini.", kata-kata tersebut membuatnya semakin khawatir.

Sudah berapa lama dia tidak berhubungan dengan Dimas? Pertanyaan tersebut membuat Jodi merasa tidak nyaman. Dia hanya berharap, dia belum terlambat untuk kemungkinan hal terburuk yang akan terjadi pada Dimas.

Jodi mencari-cari kontak Dimas di handphone nya, dia sendiri tidak tahu apakah nomor itu masih aktif atau tidak. Namun ketika dia akan menelepon nomor itu, Jodi melihat seorang guru masuk ke dalam kelasnya. Terpaksa dia membatalkan panggilan tersebut dan menyusul guru itu masuk ke kelas.

Kabar tentang Dimas yang tiba-tiba menghilang langsung menjadi topik di sekolah tersebut. Bahkan rumor-rumor aneh tentangnya sangat cepat meluas seperti kecepatan cahaya. Ada yang mengatakan bahwa Dimas terlibat perkelahian dengan suatu perkumpulan remaja badung, memakai narkoba, atau Dimas menjadi korban penjualan manusia, dan gosip-gosip aneh lainnya yang membuat telinga Jodi panas mendengarnya.

Ulangan akhir semester ganjil telah berakhir, itu berarti tinggal ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggilah yang menjadi tujuan utama anak kelas 3. Dimas tidak datang di hari-hari UAS berlangsung biarpun namanya masih tercantum di daftar peserta ujian.

Jodi sudah lakukan apa yang dia bisa selain menelepon Dimas yang tak berefek sama sekali termasuk mendatangi rumahnya. Rumah tersebut sudah ditempati keluarga lain. Jodi bahkan sampai menanyai BK tentang kabar Dimas, namun pihak sekolah terkesan menutup-nutupi kasus tersebut.

Jodi terduduk dengan lemas di tempat duduk dari tembok keramik yang disediakan di teras lantai satu. Bunyi gemericik air dari kolam ikan di taman kecil depan kelasnya terdengar jelas di telinganya. Jodi memandang ke sekitarnya, sudah banyak perubahan terjadi yang bahkan tidak Jodi sadari. Teman sekelasnya yang seingatnya dulu suka memakai rok abu-abu ketat dengan baju yang sengaja dikecilkan kini sudah menjadi lebih tertutup dengan balutan kerudung putih dan seragam yang lebih layak pakai. Pintu kayu kelasnya yang pertama kali dia lihat tidak bisa tertutup kalau tidak dengan 'paksaan' kini sudah diganti yang baru. Oh hei, ke mana saja dia sampai tidak menyadari bahwa hal-hal sekitarnya tidak lagi sama?

Ekspresi Danar waktu menceritakan pertemuan terakhirnya dengan Dimas tak bisa Jodi lupakan. Suara Danar yang bergetar dan terdengar lirih saat mendeskripsikan apa yang terjadi terus terngiang di pikirannya.

Jodi memperhatikan jam tangan anti air berwarna kuning yang melingkar di tangan kirinya. Jam tangan itu merupakan hadiah pemberian Dimas di ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Mungkin jika kau lihat jam itu biasa saja dan tidak ada hal yang mewah di sana, tapi Jodi enggan mengganti jam itu dengan yang lain.

Dia masih ingat dengan jelas saat Dimas sering mengungkit-ungkit perjuangannya agar bisa membeli jam tangan itu sampai dia rela tidak menggunakan uang sakunya waktu jam istirahat. Tapi saat Jodi menerimanya, Dimas bilang itu barang murah. Tak tahunya Dimas lupa melepas label harga di jam itu sehingga Jodi tahu harganya. Harga yang sebenarnya cukup mahal untuk orang yang 'kadang-kadang' enggan mengeluarkan uang seperti Dimas. Jodi tertawa di dalam kamarnya saat melihat label harga yang masih menempel di kotak jam tangan barunya. Saat itu kamarnya dipenuhi tumpukan hadiah yang lain, namun hanya hadiah itu yang bisa membuat Jodi tertawa sampai larut malam.

Hingga sehari setelah pesta ulang tahunnya itu, Jodi mengajak Dimas pergi makan ke sebuah restoran Jepang yang Dimas sukai sepulang sekolah. Hanya mereka berdua. Dua orang laki-laki dengan seragam SMA yang sebagian basah karena hujan yang tiba-tiba turun di tengah jalan. Tapi mereka malah tertawa konyol biarpun diberi tatapan aneh dari orang-orang lain.

"Kita kayak orang homo tau nggak sih.", ucap Dimas di sela-sela tawanya saat menunggu pesanan mereka datang.

Tanpa Jodi sadari air matanya sudah mengalir di pipinya. Jodi menutupi wajahnya dengan sikutnya. Jodi menangis terisak saat itu juga saat kenang-kenangannya bersama Dimas terputar begitu saja di pikirannya seperti sebuah film dokumentasi.

"Sayang, kamu kenapa?"

Suara lembut seorang gadis memecah pikirannya. Wajah Ovi terlihat berbayang karena mata Jodi yang basah dengan air mata. Jodi menghela nafas berat sambil tetap menutupi wajahnya.

"Jodi?", panggil Ovi lagi, kini sambil berusaha meraih lengan Jodi.

"Tolong, Ov, aku lagi mau sendirian aja.", jawab Jodi lirih, tak peduli jika pacarnya itu melihat dia menangis.

"Kamu cerita dong ke aku. Kamu kenapa sih, Jod?", tanya Ovi lagi dengan suara manja.

"Please banget, aku..."

"Pasti Dimas deh? Kamu masih mikirin dia? Udahlah Jod, dia kan cuma cowok berandal yang mukanya--"

Ovi langsung secara otomatis menghentikan perkataannya setelah melihat ekspresi marah Jodi. Dia menggigit bibir bawahnya sambil memutar bola matanya ke arah lain karena merasa dia telah mengatakan selalu yang salah.

"Tolong kamu jangan ngomong yang buruk-buruk tentang dia.", ucap Jodi dengan wajah serius, dia cukup tahu diri untuk tidak berteriak pada seorang perempuan.

"Oke, langsung aja aku bilang sekarang.. lebih baik kita putus aja, Vi.", ucap Jodi seraya menundukkan wajahnya.

Ovi begitu terkejut, dia langsung beranjak dari tempat duduknya dan menarik lengan Jodi yang pergi meninggalkannya.

"Tolong jangan tanya kenapa!", Jodi memalingkan wajahnya dan menunjukkan ekspresi yang penuh penyesalan.

"Jodi, emang aku kenapa? Bukannya selama ini kita baik-baik aja? Kamu marah karena tadi? Jodi, jawab!"

Ovi mulai menitihkan air matanya. Jodi menghela nafas penuh sesak, dia melepaskan genggaman tangan Ovi di lengannya lalu berdiri berhadapan dengan Ovi. Dia menatap Ovi tepat di matanya.

"Nggak ada yang salah dengan kita. Cuma... aku nggak seperti yang kamu mau, Vi. Kamu bisa dapet yang lebih baik dari aku.", jelas jodi.

"Dapet yang lebih baik dari lo? Lo gila...", Ovi menggelengkan kepalanya lalu menghapus air matanya dengan jari-jarinya yang lentik.

"Dengerin, Ovi.", Jodi menaruh kedua tangannya di atas pundak Ovi, mulutnya bergetar.

Kemudian mulut Jodi terbuka setelah diam sejenak dan berkata, "Aku suka sama orang lain."

Sebuah tamparan yang sangat keras dari tangan Ovi melayang ke wajah Jodi. Beberapa murid yang ada di sekitar mereka mulai memperhatikan mereka karena suara tamparan itu lalu berbisik-bisik pada sesamanya, ingin tahu apa yang terjadi.

"Basi! Gue benci sama lo!"

Ovi berpaling dan berlari meninggakan Jodi sambil menutup wajah bagian bawahnya. Seorang teman Ovi menghampiri Ovi lalu merangkulnya, mulutnya bergerak seperti sedang menanyakan apa yang terjadi. Ovi bersandar pada tubuh temannya itu lalu mereka berjalan bersama. Temannya Ovi menoleh ke belakang dan melihat Jodi yang berdiri kaku di ujung sana lalu memberikan tatapan sinis pada laki-laki itu.

Hari-hari terus berlalu hingga satu semester di sekolah pun berakhir. Semester genap pun dimulai. Anak-anak kelas tiga sudah mulai memikirkan konsep buku tahunan mereka. Undangan-undangan try out dari berbagai lembaga mulai berdatangan, tinggal menunggu jadwalnya satu persatu.

Di salah satu kelas, selalu ada tempat duduk yang tak pernah ada penghuninya. Namun nama anak yang biasa duduk di kursi itu masih ada di daftar murid kelas itu. Setiap guru mengambil daftar kehadiran muridnya, ada murid yang tak pernah hadir lebih dari batas yang diperbolehkan untuk tidak hadir.

"Tidak tahu.", jawab semua murid setiap nama murid itu dipanggil.

***

Padahal tahun baru sudah lewat dua hari yang lalu, tapi masih ada saja yang meledakkan kembang api ke udara. Cahaya warna-warni membuat wajah salah seorang pasien bangsal 301 itu terlihat terang berwarna karena nyala kembang api yang menembus kaca jendela gedung rumah sakit itu. Perban luka menutupi hampir seluruh wajah pasien itu.

Pasien itu terus memandang keluar jendela besar yang berada sekitar dua meter dari tempat dia berbaring. Namun dia tidak dapat mendengar suara kembang api itu saat menyulut ke angkasa dan meledak di langit gelap. Apa yang dapat dilihat matanya yang sebagian dibalut perban, terlihat seperti film bisu.

Malam itu merupakan malam yang amat damai untuknya. Tidak ada lagi pukulan, tidak ada lagi yang membenturkan kepalanya ke tembok, tidak ada lagi yang membuatnya terluka. Kini sudah ada saudara ibunya yang bertugas mengasuhnya selagi ayah angkatnya berurusan dengan hukum. Hanya dunia tanpa suara yang baru-baru ini dihadapinya.

Dia mengalihkan pandangannya dari kaca jendela menuju seseorang yang duduk di sampingnya.

"Er... petasan... di luar?"

Suara Danar terdengar putus-putus di telinga Dimas. Sebenarnya belum seluruh pendengaran Dimas lumpuh, dia masih bisa mendengar sedikit jika suara itu berada dekat dengannya. Tetapi dokter yang menanganinya mengatakan dia hanya perlu beberapa hari lagi sebelum pendengarannya hilang total.

Tante yang merawat Dimas sedang pergi keluar kamar rawat itu, entah untuk apa. Mungkin mencari-cari di internet kursus bahasa isyarat dan terapi bicara mana yang akan diikuti Dimas ketika dia keluar dari rumah sakit. Sehingga hanya Danar yang menemaninya saat itu.

"Pelan-pelan.", kata Dimas sedikit terbata pada Danar. Dia memfokuskan pandangannya pada mulut Danar agar bisa membaca gerak mulutnya.

"Lo... mau... liat... kembang... api... di luar... nggak?", ulang Danar dengan mengeja satu persatu kata yang diucapkannya, bahkan dia menggunakan bahasa isyarat yang dikarangnya sendiri agar Dimas mengerti.

"Nggak", Dimas menggeleng. "Di sini kelihatan.", tambahnya lagi.

Di tangan Dimas ada buku catatan besar yang tantenya berikan, jika dia sulit mengatakan keinginannya dia bisa menuliskannya di buku itu. Sebisa mungkin Dimas mencoba berbicara walau tidak bisa terlalu panjang dan secepat dulu. Meskipun dia masih enggan untuk berbicara di depan orang yang tidak terlalu akrab dengannya karena suaranya yang terdengar aneh.

Danar menggerakkan jari-jarinya membentuk huruf "O" dan "K". Danar mengambil handphone dari tasnya lalu mengeceknya sebentar.

"Danar.", panggil Dimas.

"Iya?", tanya Danar yang langsung memasukkan kembali handphone nya ke dalam tas.

Dimas memberikan buku catatannya kepada Danar. Danar menerimanya lalu membaca tulisan Dimas yang baru dibuat.

"Apa sampai gue keluar dari rumah sakit ini dan pindah jauh, gue masih nggak akan bisa ketemu Jodi?"

Danar meminta pulpen hitam yang masih Dimas pegang untuk menulis jawaban.

"Gue nggak tahu. Tapi sekalipun lo nggak ketemu dia sekarang, mungkin lo akan ketemu di lain waktu. Waktu di mana lo bahkan nggak akan percaya kalau lo bisa ketemu dia lagi. Emangnya lo mau Jodi ngeliat lo dalam keadaan kayak begini?"

Dimas berfikir sejenak sebelum memeberikan Danar balasan. Tak lama kemudian, Dimas mengangkat pulpennya dan menuliskan jawaban.

"Nggak. Itu cuma bikin dia khawatir. Gue nggak mau dia pusing mikirin masalah yang bukan masalahnya. Tolong jangan pernah kasih tau Jodi gue ada di sini."

Danar tertawa kecil saat membaca tulisan tersebut. Dia memutar-mutar pulpen yang dia pegang sambil tersenyum melihat ke arah lain. Entah karena apa, mungkin Danar mengira balasan Dimas tadi cukup menggemaskan.

Dimas memasang wajah bingung karena Danar yang masih senyum-senyum membaca tulisannya.

"Sepertinya Cinderella sudah mulai menemukan akhir bahagianya.", ucap Danar santai.

"Apa?", tanya Dimas yang tidak bisa mendengar keseluruhan ucapan Danar.

"Sebentar ya.", Danar ingin menuliskan perkataannya tadi di buku catatan Dimas tetapi tiba-tiba Dimas memintanya berhenti.

"Gue.. bisa.. baca.. gerak.. mulut.. lo", kata Dimas.

"Ohh oke-oke.. Tadi.. gue bilang. Sepertinya.. Cinderella .. sudah.. menemukan.. akhir.. bahagianya.", balas Danar dengan suara yang sedikit dikeraskan.

Dimas kebingungan dengan maksud perkataan Danar. "Cinderella? Siapa?", tanya nya.

Danar menunjuk Dimas dengan jari-jarinya yang dia gerakkan membentuk pistol. Dimas tahu siapa yang Danar maksud namun tidak mengerti maksud ungkapan Danar sebelumnya.

"Ya.. penderitaan lo... karena.. bokap.. tiri.. lo.. udah.. berakhir.. jadi.. sebentar.. lagi.. kebahagiaan.. akan.. datang..", jawab Danar dengan sabar, biarpun sebenarnya dia lelah berbicara seperti itu. Namun dia tahu, Dimas memintanya berbicara untuk melatih dirinya agar bisa membaca gerak mulut seseorang yang sedang bicara.

Dimas tertawa setelah mengerti maksudnya. Tawanya tidak berubah dari sebelum masalah-masalah itu menghampirinya. Hanya saja matanya jadi makin tidak kelihat waktu tertawa saat itu karena balutan perban di wajahnya.

Kedua sahabat itu terus berbicara sampai salah seorang pasien yang sedang rawat inap di samping Dimas mengeluh karena mereka terlalu berisik. Danar menutup mulutnya sambil salah tingkah saat dimarahi pasien sebelahnya, lalu melanjutkan tawanya dengan menahan suaranya.

"Nah udah ngantuk kan? Tidur sana.", kata Danar yang sudah beranjak dari kursinya

Danar menarik selimut di atas tempat tidur Dimas lalu melebarkannya di atas tubuh temannya itu. Dimas langsung menutup kedua matanya saat kepalanya sudah menyentuh bantal.

"Gue pulang dulu ya.", ucap Danar terakhir kali sebelum pergi meninggalkan Dimas yang hampir tertidur.

Danar mematikan lampu sehingga bilik tempat Dimas tidur menjadi gelap. Ketika keluar dari bangsal itu, Danar berpapasan dengan tantenya Dimas. Mereka saling tersenyum lalu berbasa-basi sebentar hingga akhirnya Danar berpamitan dan pulang meninggalkan rumah sakit.

Tante Dimas membuka pintu ruang 301 dengan perlahan agar tidak mengganggu pasien lain yang sedang tertidur. Dia berjalan menuju bilik terakhir yang ada di dekat jendela tempat keponakannya tinggal sementara sampai dia pulih.

Dimas sudah tertidur pulas namun ada sesuatu yang membuat tantenya itu terkejut. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya saat tertidur. Kira-kira mimpi indah seperti apakah yang sampai membuat Dimas tersenyum dalam tidurnya? Mungkin pertanyaan itu hanya Dimas sendiri yang tahu.

.

.

.

"Ya, yang itu diturunin! Hati-hati!"

Suasana di lapangan itu cukup sibuk. Mobil-mobil van terparkir di sana dengan bagasinya yang penuh barang-barang terbuka. Para mahasiswa S2 yang akan mengadakan acara sosialnya itu saling bantu membantu menyiapkan barang-barang logistik. Terlihat di tengah-tengah mahasiswa itu, seseorang yang bolak-balik mengoordinir teman-temannya.

Sebagai pemimpin acara amal tersebut, Jodi tidak enggan membantu rekan-rekannya atau bahkan orang-orang yang sengaja dibayar untuk meringankan mereka di sana agar persiapan bisa dilakukan lebih cepat.
Saat itu, Jodi yang memakai setelan kemeja abu-abu sedang membawa sebuah dus berisi buku-buku bacaan dengan huruf braile sumbangan para mahasiswa.

Tiba-tiba ada tangan kecil yang menepuk pinggang Jodi sehingga Jodi menghentikan langkah kakinya. Jodi meletakkan kardus itu di atas tanah lalu menengok ke belakang. Seorang gadis kecil yang berusia sekitar delapan tahun menyodorkan sebuah jam tangan berwarna kuning yang sudah sedikit kotor. Sekilas anak itu terlihat normal seperti anak-anak lain. Matanya bersih dan jernih. Senyumnya pun juga sangat manis. Dia menggerakkan tangannya lalu mulutnya terbuka.

"Apa ini punya kamu?"

Gadis itu bertanya dengan bahasa isyarat. Jodi merogoh saku celananya, ternyata jam tangan yang dia simpan di sakunya karena belum sempat dipakai saking terburu-burunya tidak ada. Kemudian Jodi tersenyum lalu berjalan mendekati anak itu. Dia berjongkok agar tingginya menyamai gadis kecil berseragam sekolah itu. Jodi menerima jam tangan kuning nya dari tangan kecil itu.

Jodi mengangkat telapak tangan kanannya sejajar mulutnya lalu menempelkan ujung-ujung jarinya ke bibirnya lalu mengadahkan tangannya itu ke arah gadis kecil itu. Mulut Jodi terbuka dan berkata, "Terima kasih."

Jodi menggerakkan kedua tangannya untuk mengisyaratkan bahwa dia harus pergi setelah mengenakan jam tangan itu di tangannya. Namun gadis itu menahan Jodi dan kembali mengajukan pertanyaan lain.

"Kenapa kau menyimpan jam tangan yang sudah mati?"

Jodi terkejut dengan pertanyaan tersebut. Dia melirik jam tangan lusuh yang dia pakai di tangan kirinya itu, memang jam itu sudah berfungsi. Noda hitam pulpen sudah mengotori lengan jam tangan yang berwarna kuning itu.

"Jam ini pemberian orang yang sangat berharga."

Hati Jodi terasa sesak saat mengatakan hal itu. Sudah lebih dari lima tahun dia tidak mengetahui kabar orang tersebut. Apakah orang itu masih hidup atau tidak saja Jodi tidak tahu. Namun di tiap doanya, selalu diselipkan nama orang yang dia rindukan tersebut. Jodi percaya suatu hari dia akan bertemu dengan Dimas.

Para mahasiswa itu mengadakan acara amal di sebuah sekolah luar biasa. Mereka tergabung sebagai mahasiswa yang peduli terhadap anak-anak penyandang disabilitas. Sebagian dari mahasiswa yang menjadi panitia di acara itu ada juga yang tuna wicara bahkan tuna netra. Makanya tidak heran kalau Jodi mampu berbahasa isyarat.

Acara tersebut berlangsung lancar dan meriah. Mereka mengadakan banyak kegiatan untuk menghibur dan belajar bersama dengan murid-murid di sekolah luar biasa yang terdiri dari tingkat SD hingga SMA itu. Tak hanya bersenang-senang, mereka juga membagikan buku-buku dengan huruf braille, alat bantu dengar, dan barang-barang lain yang dapat membantu anak-anak tersebut.

Di sebuah ruangan yang dipenuhi arsip-arsip dan buku-buku tua, Jodi berbincang dengan seorang pria paruh baya yang merupakan pemilik yayasan yang mengelola sekolah tersebut. Mereka duduk berhadapan dengan sebuah meja kayu yang bagian atasnya terbuat dari kaca berwarna hitam. Bagian pinggir meja besar tersebut terlihat cukup berantakan karena ada beberapa arsip berisi data-data siswa yang menunggu giliran untuk ditata. Ruangan sekertariat tersebut memang baru beberapa hari yang lalu selesai direnovasi sehingga belum semua dokumen diata kembali. Tentu saja Jodi memakluminya.

Mereka berdua berbicara tentang banyak hal, salah satunya seperti alasan mengapa Jodi tertarik untuk belajar bahasa isyarat. Jodi mengatakan dia sudah belajar bahasa tersebut sejak semester pertama dia kuliah S1. Alasannya hanya karena dia terinspirasi sebuah film. Tapi entahlah Jodi yang karakternya itu mudah bosan dengan hal yang baru saja dia pikir menarik, bisa begitu antusias dalam mempelajari bahasa isyarat.

Mata Jodi terus melirik sebuah folder besar berwarna biru tua yang terletak di bagian meja yang sedang berantakan itu. Folder itu sepertinya sudah sangat usang karena noda debu yang menutupi covernya.

"Pak, boleh saya lihat dokumen-dokumen yang ada di sini?", tanya Jodi seraya mendorong kursi putarnya ke belakang lalu beranjak dari kursi itu.

"Oh silakan, tapi karena ini dulu ruangan lama, banyak yang kotor dan berdebu. Saya mohon maaf.", jawab pria tua yang berkaca mata itu.

"Tidak apa-apa. Saya tidak alergi debu.", balas Jodi sambil tersenyum.

Jodi berjalan beberapa langkah menuju bagian ujung meja kayu yang tadi lengannya gunakan untuk bersandar. Arsip-arsip yang berantakan di atas meja itu merupakan data lama yang usianya sudah hampir sepuluh tahun. Jodi hendak menyentuh folder biru tua yang sedari tadi ingin dia lihat namun pemilik yayasan tadi tiba-tiba menyentuh pundaknya.

"Ini mas Jodi, ada sarung tangan. Biar tangannya nggak kotor.", kata pria itu sambil tersenyum lebar. Dia memberikan sepasang sarung tangan karet berwarna putih, yang biasa digunakan dokter-dokter.

"Terima kasih banyak. Maaf merepotkan.", jawab Jodi sambil menganggukkan kepalanya.

Dia menerima sarung tangan tersebut dengan senang hati lalu memakainya. Ketika tangannya menyentuh cover folder tersebut, debu yang tebal menyisakan noda keabuan di ujung jari-jari Jodi yang sudah dilapisi sarung tangan. Jodi lanjut membuka folder tersebut yang isinya merupakan data-data siswa tingkat SMA sekolah luar biasa tersebut dari tahun 2010, tujuh tahun yang lalu. Jodi terus membuka halaman per halaman folder tersebut. Memperhatikan nama dan foto murid yang ada di tiap lembarannya.

Tiba-tiba saja Jodi tersentak saat tangannya berhenti di halaman ke 24 folder tersebut. Jantungnya mendadak berdegup cepat dan tubuhnya terasa membeku. Jodi mendekatkan wajahnya ke bagian foto siswa yang terlampir di bagian bawah. Memperhatikan foto wajah siswa laki-laki tersebut lekat-lekat.
Hingga tanpa dia sadari, Pak Alfin, pemilik yayasan tersebut, iseng mengintip apa yang Jodi perhatikan dengan serius.

"Oh si DR.", ucap Pak Alfin diiringi dengan suara tawa yang mengagetkan Jodi.

Bukan hanya tawanya, tapi nama yang Pak Alfin sebutkan membuat Jodi semakin terkejut.

"Ba-bapak kenal dia?", tanya jodi gugup. Dari wajahnya terlihat jelas rasa penasaran mengenai murid tersebut dalam diri Jodi.

"Dulu sebelum saya jadi pemilik yayasan, saya gurunya dulu.", jawab pria berbadan subur tersebut sambil ikutan melihat potret wajah Dimas di kertas tua yang dilapisi plastik tersebut.

"Dia orang yang sangat menarik dan menyenangkan. Hatinya sangat tulus, tidak pernah mau merepotkan orang lain. Walau ya, dia agak tertutup.", lanjutnya. "Saya terkejut waktu tahu ternyata dia tidak tuna rungu dari lahir, melainkan baru ketika dia di kelas 3 SMA. Soalnya.. dia sangat sabar dan terbiasa dengan keadaannya itu. Saya lupa dulu kenapa dia bisa tuli, sakit atau apa ya? Saya lupa. Tantenya bersikeras agar dia melanjutkan sekolah di sini karena di sini banyak yang sama dengannya walau DR sendiri inginnya di sekolah biasa.", kenangnya.

Sebuah perasaan antara lega, sesak, dan sedih campur aduk di dadanya. Jodi yakin air matanya akan tumpah kapan saja saat itu.

"Sekarang dia bagaimana?", tanya Jodi dengan suara serak.

"Oh sekarang dia sudah sukses jadi pengusaha, sudah jadi orang kaya. Sudah punya istri sama anak. Dua tahun lalu saya diundang ke pernikahannya.", jawab Pak Alfin sambil mengibas-ngibaskan sebuah kertas yang asal dia ambil dan digunakan sebagai kipas.

"Padahal nama aslinya Dimas tapi dia selalu mau dipanggil DR. Aduh, saya jadi kangen dia.", Pak Alfin tertawa karea perkataannya sendiri.

Jodi menelan ludah. Separuh jiwanya seperti melayang begitu saja ketika Pak Alfin menceritakannya kabar Dimas yang sekarang. Tubuhnya terasa lemas tiba-tiba hingga Jodi langsung berpegangan pada meja kayu tadi.Air matanya langsung tumpah saat itu juga dan di saat yang bersamaan dia langsung menghapusnya agar tak terlihat Pak Alfin.

"Lho? Kenapa, mas?", Pak Alfin langsung merangkul Jodi yang hampir terjatuh.

"Nggak apa-apa kok, pak. Terima kasih.", Jodi langsung menunjukkan senyumannya setelah Pak Alfin bantu dia berdiri.

"Kamu kenal dia?", tanya Pak Alfin.

Jodi menarik nafas sejenak sebelum menceritakan kenangannya.

"Dia dulu satu SMA sama saya. Kita sahabat baik.. sampai akhirnya dia ada masalah di keluarganya yang saya tidak sadari sampai dia harus menderita banyak hal. Saya ingin banget ketemu dia..", kata Jodi sambil menatap keluar jendela di ruangan tersebut dengan pandangan kosong.

"Ah tapi pasti dia sekarang benci sama saya, pak. Hahaha.", Jadi memalingkan wajahnya sambil tertawa dengan terpaksa. Lalu dia menarik nafas yang dalam dan dia hembuskan perlahan.

"Nggak, mas Jodi!", kata pak Alfin tiba-tiba sambil meraih pundak Jodi.

"Saya baru inget, dulu DR pernah cerita tentang kamu! Jodi! Iya, Jodi!  Iya, iya, saya ingat dia anak yang suka pakai saputangan warna biru tua yang katanya dari temannya yang namanya Jodi.", cerita Pak Alfin sambil tersenyum senang entah karena ingin membuat Jodi terhibur atau karena bangga karena ingatannya masih sangat baik walaupun usianya sudah lebih dari setengah abad.

Jodi semakin membeku saat mendengar lanjutan cerita Pak Alfin. Bibirnya terasa sangat kaku. Speechless, kata itu lah yang dapat menggambarkan keadaan Jodi saat itu.

"Rumahnya deket sini kok, kadang-kadang dia suka main ke sekolah ini juga. Sebentar, saya akan kasih kamu alamatnya.", kata Pak Alfin sambil mencari-cari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk menulis.

Setelah mondar-mandir ke sana ke mari, Pak Alfin menemukan sebuah pulpen dan dia tulis alamat rumah Dimas di atas secarik kertas.

"Kamu harus kunjungin dia.", kata Pak Alfin saat memberikan kertas itu di atas tangan Jodi yang dingin.

Jodi membuka secarik kertas yang pria tadi taruh di atas tangannya lalu membaca alamat tersebut.

"Nanti saya pikirkan.", balas Jodi yang akhirnya bangkit dari kebungkamannya.

***
.
.
.

Secarik kertas berisi alamat ditempel dengan selotip di dasbor mobil berwarna silver itu. Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah besar dengan cat putih yang dibatasi pagar rumput. Warna hijau, putih, dan merah muda sangat identik dengan rumah itu.

Jodi mematikan radio yang dia putar di dalam mobil seiring dia mematikan mesin mobilnya. Suasana mobil menjadi sangat sepi, suara kendaraan lain yang sedang berlalu-lalang terdengar sampai ke telinga Jodi. Namun Jodi tidak langsung keluar dari mobilnya. Dia masih bersandar pada jok mobilnya. Menatap kosong ke arah kertas berisi alamat yang Pak Alfin berikan.

"Lo bisa, Jodi. Lo pasti bisa. Lo cuma perlu tersenyum dan lo bisa menghadapi semuanya.", ucap Jodi sambil menatap bayangan dirinya di kaca mobil.

Semalaman Jodi berlatih untuk mempersiapkan dirinya sebelum bertemu Dimas. Tidak pernah dia seperti itu sebelumnya, bahkan dia tidak pernah berlatih berbicara apapun saat bertemu orang tua mantan-mantan pacarnya. Namun kali ini berbeda. Menemui sahabat terbaikmu yang benar-benar hilang kontak selama tujuh tahun tentu akan menyulitkan.

Jodi mengambil kantung plastik yang berisi beberapa buah tangan dari sebuah toko roti yang terkenal. Kemudian Jodi membuka pintu mobilnya dan melangkahkan kakinya ke luar dengan mantap. Angin dingin langsung menyambut saat dia keluar dari mobil. Jantungnya terus berdetak dengan cepat saking gugupnya.

Jodi mendorong sebuah gerbang kayu berbentuk bulat yang dipinggirnya merupakan pagar rumput yang terlihat seperti semak-semak. Jodi sudah berada di halaman rumah tersebut. Dia menelan ludah, berharap Dimas ada di rumah saat itu karena mereka sama sekali tidak membuat janji akan bertemu.

Halaman rumah tersebut cukup luas dan asri. Ada kolam dengan air mancur yang keluar dari patung-patung bebek kecil dan ada pula berbagai tanaman pot yang indah dan terawat dengan lampu taman di sekitar yang belum dinyalakan. Jodi berjalan mengikuti jalan setapak dari batu-batu apung yang sengaja didesain pemilik rumah sebagai jalan menuju pintu utama. Jodi menaiki 3 buah anak tangga dan dia sampai di pintu utama tersebut.

Jodi memencet bel yang terpasang di dinding dekat pintu kayu tersebut. Jodi menunggu beberapa detik, tidak ada jawaban. Akhirnya Jodi memencet bel tersebut lagi. Jodi menggoyang-goyangkan kakinya dengan resah, khawatir bahwa dia salah rumah atau memang Dimas tidak ada di rumah. Jodi memencet bel untuk yang ketiga kalinya. Jika yang ini masih tidak dibuka, Jodi akan pulang saja.

Jantung Jodi terasa mau copot saat tiba-tiba kusen pintu bergerak. Lutut Jodi bergetar lemas, rasanya seperti ingin mati saja.

"Krek..."

Pintu tersebut akhirnya terbuka dan terlihatlah wajah seseorang yang membuka pintu itu. Ternyata yang membuka pintu itu adalah seorang wanita berambut sepanjang bahunya. Wanita yang tak Jodi kenali itu terlihat seumuran dengannya. Sebuah benda seperti alat bantu dengar terpasang di telinga wanita itu.

"Maaf ini benar rumahnya Dimas?", tanya Jodi sambil menjaga suaranya agar tidak terdengar mencurigakan.

"Benar", jawab wanita tersebut dengan aksen yang terdengar aneh di telinga Jodi.

Mungkin wanita itu yang merupakan istrinya Dimas, begitu pikir Jodi.  Sepertinya wanita itu juga tuli seperti Dimas. Berbagai prasangka bermunculan di otak Jodi sampai dia lupa pembicaraan yang sudah dia siapkan.

"Kamu siapa ya?", tanya wanita itu lagi.

"Saya Jodi, teman Dimas.", jawab Jodi sambil menggunakan bahasa isyarat.

Wanita itu tersenyum lebar, seolah baru bertemu seseorang yang cocok dengan dirinya hanya karena orang itu berbicara dengan bahasa isyarat.

"Masuk, masuk!", kata wanita itu sambil masuk ke dalam rumahnya.

Jodi melepas alas kakinya lalu ikut masuk ke dalam rumah yang besar itu. Rasa gugupnya perlahan hilang saat dia sudah berada di dalam rumah itu. Warna putih dengan nuansa moderen mendominasi ruang tamu rumah itu. Jodi duduk di atas sebuah sofa berwarna merah muda yang sangat nyaman.

Jodi menjentikkan jarinya di atas pahanya sambil menunggu Dimas datang. Prasangka buruk mulai bermunculan. Bagaimana jika Dimas tidak mau bertemu dengannya? Bagaimana jika Dimas sudah membencinya atau bahkan... sudah lupa padanya?

Jodi mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Jodi menggigit bibir bawahnya, tangan dan kakinya semakin tidak bisa diam.  Suara langkah kaki tersebut akhirnya berhenti, Jodi dapat merasakan aura seseorang berada di dekatnya.

Akhirnya Jodi mengangkat kepalanya. Ada seseorang berdiri di dekatnya. Yang pertama kali Jodi lihat adalah celana panjang warna cokelat yang dikenakan orang itu. Seorang laki-laki bertubuh tinggi dan tegap dengan potongan rambut yang rapi tersenyum padanya. Jodi meletakkan bantal berbentuk hati yang dari tadi dia remas-remas karena gugup di atas sofa yang dia duduki.

Perasaan hangat menyelimuti dada Jodi saat melihat Dimas. Mata mereka bertemu, terlihat jelas kerinduan yang terpancar dari tatapan mata mereka. Dimas masih seperti yang dulu, hanya wajahnya terlihat sedikit lebih dewasa karena kaca mata minus yang dikenakannya. Meski Dimas bertambah tinggi, tinggi badannya masih belum bisa menyaingi Jodi. Senyumnya juga tidak berubah, pipinya yang tembem membuat matanya terlihat seperti garis saat dia tersenyum.

Jodi masih berdiri diam karena tak percaya dengan apa yang dia lihat di depan matanya. Dimas mengangkat ibu jarinya ke tepi dahi kanannya lalu menggerakkannya ke udara sebagai tanda sapaan.

"Jodi? Ini beneran?", Dimas tersenyum lebar dengan kedua tangannya memegang kedua sikut Jodi.

Jodi yang masih diam terpaku makin terkejut karena cara berbicara Dimas yang baik dan jelas. Walaupun tak bisa dipungkiri Dimas memiliki aksen yang sama saat berbicara seperti wanita yang membukakan pintu untuk Jodi.

"Aaaaaahh gue pasti lagi mimpi!!!"

Dimas langsung membuka lebar kedua tangannya dan memeluk tubuh Jodi erat-erat. Perasaan gugup Jodi seakan mencair dengan pelukan itu. Dia mengangkat tangan kanannya ke punggung Dimas lalu mengelusnya. Jodi merasa tubuh Dimas menjadi lebih berisi dari terakhir kali mereka bertemu.

"Nge-gym nih?", ledek Dimas seraya mengangkat satu alisnya setelah dia melepas pelukan tersebut.

Berpelukan sedekat itu dengan Jodi tentu saja dapat membuat siapa saja dapat merasakan tubuh depan Jodi yang atletis dan bidang yang dibangun dengan susah payah.

"Bagus banget badan lo, Jod. Gue nggak sabar ngeliat lo di iklan susu pembentuk otot, Jod.", tambah Dimas sambil meraba-raba perut Jodi.

Jodi baru saja ingin melanjutkan percakapan namun tiba-tiba Dimas kembali berbuat heboh.

"Gilaaa! Ini nggak ada kamera tersembunyi atau apa kan? Gue nggak lagi ada di acara TV kan?", Dimas mondar-mandir sambil melirik ke tiap sudut rumahnya.

Jodi berusaha menahan tawanya melihat tingkah Dimas yang sangat berbeda dari penampilannya yang kalem. Dia menatap Dimas dengan penuh arti. Orang yang sangat disayanginya itu terlihat begitu bahagia. Jodi ingat bahwa agar memberikan kesan yang baik untuk orang yang baru ditemui adalah membiarkan lawan bicaramu itu berbicara lebih banyak darimu dan jadilah pendengar yang baik.

"Kok lo tau rumah gue sih?", tanya Dimas sambil menaruh kedua telapak tangannya di pinggangnya.

"Iya, beberapa hari yang lalu gue sama perkumpulan mahasiswa yang lain ke sekolah luar biasa gitu buat acara amal. Terus ketemu sama Pak Alfin dan ... di sini lah gue.", jawab Jodi, berusaha sekuat tenaga agar Dimas tidak menyadari bahwa Jodi sesungguhnya benar-benar bingung harus bicara apa.

"Ohh pak Alfin! Pemilik yayasan itu? Pasti lo cerita ya lo nyariin gue? ",  kata Dimas memberikan dugaan aneh pada Jodi.

"Ehm sebetulnya hanya kebetulan.", jawab Jodi singkat.

Dimas meminta izin kepada Jodi untuk meninggalkannya sebentar. Dimas masuk ke ruangan lain yang terhubung ke ruang tamu. Tak lama kemudian Dimas datang kembali bersama wanita tadi. Wanita itu tersenyum pada Jodi sambil membawa nampan dengan minuman dan kue brownies yang sudah dipotong-potong di atas sebuah piring besar.

"Terima kasih.", ucap Jodi.

Dimas merangkul wanita yang tadi datang bersamanya, "Kenalin, Jod. Ini istri gue, cantik kan?".

Jodi tersenyum sambil mengangkatkan tangannya seperti orang yang sedang hormat lalu melayangkan gerakan hormat itu ke udara. Istri Dimas melakukan gerakan yang sama pada Jodi.

Dimas berdiri menghadap istrinya dan menyampaikan sesuatu dalam bahasa isyarat.

"Aku mau ngobrol berdua saja sama Jodi. Kamu tolong jagain 'Jodi' di atas ya."

Jodi? Jodi bingung dengan apa yang Dimas maksud. Apa ada orang lain yang bernama Jodi selain dia di rumah itu?

Tak lama kemudian, tinggal Dimas dan Jodi berdua di ruangan itu. Dimas mempersilakan Jodi untuk minum dan menikmati brownies yang 'katanya' asli buatan sendiri. Jodi mengangguk lalu mengambil salah satu cangkir yang ada di nampan lalu meminum isi cangkir tersebut.

"Oh ya ini gue bawa roti.", Jodi mengambil kantung plastik yang berisi berbagai jenis roti yang dia taruh di sampingnya, lalu memberikan kantung tersebut kepada Dimas.

"Ya ampun lo masih inget aja gue suka roti di sini! Makasih ya!", Dimas menerima buah tangan tersebut dengan senang hati.

Tentu saja Jodi masih mengingat hal-hal kecil yang Dimas sukai kalau bukan karena memang dia sudah menaruh hati padanya.

Suasana kembali hening, membuat Jodi panik.  Dimas terus memperhatikan bibir Jodi walau sedang meminum teh yang istrinya buat. Topik untuk pembicaraan yang Jodi siapkan mendadak hilang semua.

"Lo yang normal, kenapa gue yang bawel dah? Hahahaha", ucap Dimas dengan maksud menyindir Jodi yang terlalu diam yang kemudian diikuti tawanya.

"Gue bingung, Er. Asli dah gue pas belom masuk ke sini aja gue udah deg-degan banget. Gue ngeri lo udah lupa sama gue.", jawab Jodi yang akhirnya mulai bicara banyak karena sudah cocok dengan suasana pertemuannya itu.

"Ya kali gue lupa sama lo. Nama anak gue aja sama kayak nama lo.", balas Dimas santai.

"Hah?!", mata Jodi terbelalak, terkejut.

"Serius! Umurnya baru tiga bulan, lucu banget deh! Tapi Jodinya mau mandi dulu sama mamanya. Nanti kalau udah oke, lo harus ketemu dia, ya?"

Jodi hanya nyengir kuda, mendengar namanya disebut untuk menyebut orang lain membuatnya merasa aneh.

"Sorry ya nama lo gue catut. Abisnya gue nggak pernah bisa lupa sama lo sih, Jod.", ujar Dimas dengan suara yang makin pelan di akhir. "Walaupun lo tega ninggalin gue dalam waktu yang lama, gue nggak pernah bisa nemu alasan buat benci sama lo."

Suasana menjadi hening kembali. Angin yang datang bertiup membuat gantungan lumba-lumba yang ada di depan pintu rumah bergoyang dan menimbulkan bunyi 'kelenting-kelenting'.

"Oh ya! Lo baru pertama kali ke sini, kan? Liat-liat rumah gue dulu yuk!", ajak Dimas sambil langsung beranjak dari tempat duduknya dan menarik tangan Jodi.

Kedua sahabat lama itu berjalan berdua mengelilingi rumah yang bisa dibilang terlalu luas untuk dihuni dua orang dewasa dan seorang bayi. Dimas banyak bercerita tentang jatuh bangun bisnis kuliner yang dirintisnya sejak lulus ujian nasional. Hampir seluruh ruangan di rumah Dimas dicat berwarna putih. Semua tertata rapi dan bersih, sangat nyaman untuk ditempati.

Ada sebuah pintu geser yang terbuat dari kaca tembus pandang di ruangan makan yang langsung terhubung dengan taman di rumah itu. Dimas menggeser pintu kaca tersebut dengan sekuat tenaga karena memang sudah agak macet, dia berencana untuk memperbaikinya minggu depan kalau asisten rumah tangganya sudah kembali dari kampungnya. Terdengar bunyi decitan saat mereka keluar dari ruang makan dan menginjak lantai kayu di taman. Taman itu sebenarnya langsung terhubung dengan jalanan umum kompleks, namun dibatasi dengan dinding berbatu yang cukup tinggi. Taman tersebut tidak terlalu berbeda dengan taman kecil yang ada di pintu masuk, hanya saja di taman tersebut ada sebuah ayunan besar yang terbuat dari rotan dan terdapat matras sebagai alas duduknya. Di sampingnya ada sebuah pendopo kecil yang terbuat dari kayu jati.

Dimas mengajak Jodi duduk di atas ayunan rotan tersebut. Dimas mendorong kakinya kebelakang lalu mengangkatnya ke atas dan berduduk sila agar kursi di ayunan tersebut bergoyang.

"Rencananya ini yang masih rumput mau gue bikin kolam berenang. Cuma nunggu duitnya kumpul dulu, hehe", kata Dimas sambil menunjuk halaman kosong yang ada di hadapannya.

"Oh ya, lo sendiri lagi sibuk apa?", tanya Dimas sambil menatap Jodi dari samping.

"Gue masih nerusin S2 desain grafis, baru setahun sih. Tadinya mau langsung kerja abis lulus S1, tapi mumpung ada tawaran beasiswa, jadi gue ambil deh.", jawab Jodi sambil meluruskan kakinya yang jenjang ke depan membiarkan kakinya melayang di udara.

"Jodi mah jangan ditanya, otak profesor sih!", Dimas tertawa kecil.

Jodi semakin gugup karena dia merasa obrolan mereka semakin membosankan, padahal dia ingin saat-saat itu menjadi waktu yang berarti.

"Jod, lo nyangka nggak sih.. apa yang terjadi di antara kita itu aneh tapi nyata?", tanya Dimas.

"Maksud lo?"

"Ya lucu aja. Gue tiba-tiba hilang dari sekolah, jadi tuli dan macem-macem terjadi ke gue. Sementara lo tau-tau tertarik belajar bahasa isyarat dan bisa ngomong dengan orang-orang lain yang bernasib kayak gue. Terus akhirnya kita ketemu hari ini.. apa menurut lo ini kebetulan?", jelas Dimas.

Espresi wajah bingung Dimas sangat menggemaskan bagi Jodi. Namun Jodi harus menahan diri untuk tidak menyentuh temannya itu karena tahu dia sudah memiliki seorang pendamping hidup.

"Bagi gue ini takdir.", jawab Jodi sambil terus menatap lawan bicaranya.

"Gue selalu berdoa supaya kita bisa bertemu dan ini dia jawaban dari semua doa itu.."

"Ohh itu sangat manis.", balas Dimas saat pertanyaannya sudah dijawab Jodi.

Kemudian Dimas menjatuhkan kepalanya di atas bahu Jodi, membuat semburat merah muncul di pipi Jodi karena malu. Dimas menurunkan kakinya ke atas lantai kayu lalu mendorong kakinya ke belakang agar ayunan kembali bergoyang dengan cepat.

"Seseorang harus menulis cerita kita jadi sebuah buku! Ini tuh hal yang sangat langka!", ujar Dimas bersemangat.

"Terserah deh", Jodi terkekeh mendengar ide konyol itu.

Ingatan Jodi akan masa-masa SMA mereka muncul, terutama bagian waktu mereka dan Danar sedang menonton film bersama. Lalu karena bosan, mereka memutuskan untuk saling bertukar cerita saja. Saat di mana Dimas berjanji akan memberi tahu siapa orang yang dia suka kalau mereka sudah lulus.

"Er, lo dulu kan pernah bilang kalau lo bakal kasih tau nama orang yang lo suka waktu kita SMA kalau kita udah lulus.", kata Jodi, memancing Dimas.

Dimas mengangkatkan kepalanya yang semula terbaring di atas bahu Jodi. Dia menatap Jodi bukan dengan tatapan yang penuh keceriaan seperti sebelumnya.

"Yang mana sih? Kok gue lupa?", tanya Dimas sambil mengerutkan dahinya.

"Waktu kita di rumah Danar sambil nonton film. Cuma karena filmnya nggak seru, kita malah jadi ngobrol-ngobrol biasa.", jelas Jodi.

Dimas berfikir sejenak seraya menyipitkan kedua matanya. Hingga akhirnya terdengar untuk kesekian kalinya suara tawa Dimas yang kadang membuat Jodi senang sekaligus bingung.

"Ya ampun, lo masih penasaran? Itu kan udah lama banget.", balas Dimas yang tidak langsung terpancing untuk membuka rahasianya waktu SMA dulu.

"Cepetan kasih tau gue! Kan lo sendiri yang janji.", pinta Jodi sedikit memaksa.

"Hmm...", Dimas memutar kedua bola matanya seraya memikirkan sesuatu. "Oke, akan gue kasih tau siapa orangnya sekarang."

Adrenalin Jodi kembali terpancing untuk berpacu saat Dimas akan memberi tahunya rahasia klasiknya itu. Jantung Jodi kembali berdebar-debar ketika Dimas bilang akan memberi tahunya siapa orang yang dia suka.

"Berdiri dan tutup mata.", kata Dimas dengan mantap.

"Hah?"

"Buruan! Mau gue kasih tau nggak?"

Jodi dengan terpaksa mengikuti instruksi Dimas untuk berdiri dan memejamkan matanya.

"Geser empat langkah ke ke kiri.", perintah Dimas. "Terus mundur ke belakang lima kali. Pelan-pelan aja. Nah stop!"

"Lo boleh buka mata."

Jodi membuka matanya tapi tidak apa-apa yang berarti. Dia berdiri di ruang antara sebuah tembok dan pendopo kayu jati. Jodi menengok ke tembok di sampingnya, ada sebuah cermin persegi panjang tergantung di sana.

"Ada cermin?", tanya Dimas, memastikan keadaan yang dirancangnya sudah benar.

"Ada."

"Nah.. orang yang gue suka, refleksinya ada di cermin itu."

Jodi menatap wajahnya sendiri di cermin itu dengan ekspresi yang sulit dipercaya. Keheningan muncul di antara mereka. Dimas menatap dengan kosong rerumputan yang ada di hadapannya saat Jodi kembali ke tempat ayunan tadi berada.

"Gue tau lo nggak bakal terima gue, makanya gue selalu diam. Tapi meskipun gue udah tau semua itu... entah kenapa rasanya sakit banget untuk sok kuat.", ujar Dimas yang lalu beranjak dari ayunan rotan.

Dimas menghampiri Jodi lalu berdiri di hadapannya.

"Er..", panggil Jodi.

"Tapi itu dulu kok! Hahahahaha! Nggak usah kasihan sama gue, Jod. Nggak usah takut juga, gue nggak bakal macem-macem sama lo!",  kata Dimas sambil menepuk-nepuk pundak Jodi seolah tidak terjadi apa-apa.

"Gue udah punya dia, orang yang akan tinggal sama sama gue di sisa umur gue. Lo juga harus cari orang yang akan bikin lo bahagia.", kata Dimas sambil menatap erat ma Jodi.

Dimas menolehkan wajahnya ke arah pintu kaca dan melihat istrinya sudah menunggu di sana. Dalam bahasa isyarat istrinya berkata, "Ayo masuk, makan siang sudah siap."

"Ayo kita makan!", Dimas mengangkat tangannya ke udara sambil mengajak Jodi meninggalkan taman itu.

Pertemuan itu diakhiri dengan makan siang bersama. Dimas dan istrinya duduk berdampingan sementara Jodi duduk di seberang Dimas. Tak hanya mereka, ada seorang bayi laki-laki yang menggemaskan yang duduk di atas kursi khusus bayi yang diletakkan di dekat kursi sang ibu. Bayi yang mempunya nama yang sama dengannya itu terlihat sangat menggemaskan. Matanya bulat dengan hidungnya yang kecil. Ditambah pipinya yang besar dan bibir kecilnya yang berwarna merah. Sekilas mirip Dimas kalau mata anak itu lebih sipit lagi. Semua tidak ada yang cacat, bahkan pendengarannya pun baik tidak seperti kedua orang tuanya.

Melihat keluarga kecil itu membuat Jodi lega. Dimas tidak butuh dia untuk bisa tersenyum lepas seperti dulu. Dimas yang dulu milik semua orang kini jadi milik seseorang dan sudah punya anak.

Dimas mengantar Jodi sampai ke mobilnya sambil menggendong si Jodi kecil. Istrinya juga ikut melepas Jodi pergi. Keluarga kecil itu menyesali mengapa kunjungan Jodi harus cepat berakhir padahal mereka masih ingin bersama.

Dengan kaca mobil yang masih terbuka, Jodi melambaikan tangannya kepada Dimas dan keluarganya. Dimas tersenyum sambil menggerakkan tangan bayi kecilnya dengan gerakkan melambaikan tangan.

"Lo akan selalu diterima kapanpun lo ke sini.", pesan Dimas pada Jodi seblum kaca mobil tertutup dan wajah Jodi hilang dari pandangan Dimas.

Mobil silver yang dikemudikan Jodi itu kemudian melaju perlahan. Dimas dan istrinya masih tetap di sana sampai mobil itu berjalan cukup jauh. Dimas langsung menunjukkan wajah datar setelah mobil tersebut benar-benar hilang dari pandangannya. Dimas lalu menutup pintu gerbang. Keluarga kecil itu berjalan bersama menyusuri jalan setapak dari batu apung yang berada di tengah hamparan rumput jepang. Mereka bertiga masuk ke dalam rumah bercat putih itu dan hidup dengan damai di dalamnya.

.

.

.

Jodi menepikan mobilnya ke pinggir jalan. Dia melepas tangannya dari setang mobil lalu memegangi dahinya dan membuat pijatan kecil. Isak tangis seorang pria terdengar di dalam mobil itu, menyaingi suara lagu yang terputar di radio.

"Yang telah kau buat sungguhlah indah, buat diriku susah lupa."

Jodi berulang kali menghapus air matanya namun air matanya terus turun. Dadanya terasa begitu sesak setelah meninggalkan rumah sahabatnya tadi. Air matanya tumpah begitu saja di tengah jalan membuatnya tidak konsentrasi dalam menyetir. Patah hati tak pernah membuatnya serapuh itu.

Jodi kembali memegang setir mobil, menginjak gas, dan melanjutkan perjalanan pulang. Mungkin perlu beberapa waktu lagi agar Jodi bisa lebih tegar untuk bertemu Dimas, yang terpenting dia bisa segera melanjutkan hidupnya. Membiarkan masalah tertidur.

Jika dulu yang dia selipkan pada doanya tiap malam adalah keinginannya agar dia bisa segera bertemu Dimas. Kini ada harapan baru yang Jodi selalu sebut dalam doanya. Yaitu, agar dia dapat hidup lebih bahagia dari mereka yang telah membuat patah hatinya.

-selesai-