Hey brothers~ Hehehe semenjak blog ini gue namain Brofist, pembaca blog ini jadi gue namain Brothers deh hehe. Sudahlah..
Ceritanya Sabtu tanggal 2 November kemaren ada acara Bulan Bahasa se-Kota Bekasi di sekolah gue. Dan.. ceritanya gue ngikut lomba cipta cerpen. HAHAHAHA CIPTA CERPEN. Iya, dikasih waktu 2 jam terus nulis gitu cerpennya di folio. Gue baru dikabarin tentang lomba ini pas Hari Rabu sebelum lomba~ Kwuuk, awalnya gue dengan belagu menerima tantangan tersebut. Orang cuma nulis cerpen, what's so hard about it?
Kamis, di mana gue disuruh latihan, gue malah kabur dengan teman-teman pas pulang sekolah karokean ke Happy Puppy or we call this "Anjing Senang". Keren ya anak jaman sekarang gituh. Waktu itu tanggal 31 Oktober dan.. Happy Late Halloween for everyone! Ya 31 Oktober emang Halloween. Kaget juga pas dateng ke Happy Puppy terus suasananya Halloween gimana gitu. Ada hiasan labu siem lah, terus karyawannya pada pake kostum horor gitu lah. Fantastic!
Oke, jadi ngelantur ke mana-mana kan. Akhirnya gue baru ngikut latihan persiapan lomba Hari Jumat nya. Temen-temen gue ada yang ngikut lomba pidato, lomba cipta puisi, baca puisi, dan mendongeng. DAN MEREKA UDAH SIAP SEMUAAA. I feel I'm a motherfucker..
Gue belum siap apa-apa. Yang gue tahu adalah cerpen apa yang mesti gue buat. Gue bingung...
Akhirnya jadilah cerpen yang dihasilkan dari otak gue yang penuh maksiat ini. Cerpennya bertemakan kejujuran. Watak sang tokoh utama SANGAT BERLAWANAN dengan watak gue.
Here it goes, cerpen karya Nadia Feranisa untuk memeringati Bulan Bahasa:
Kenapa Harus Mencuri?
“Assalamualaikum
Bang Doni! Ini Maul, bang!”
Maulana berteriak memanggil Bang Doni,
pemilik counter pulsa yang berada di depan Rumah Sakit Harapan Indah. Counter
pulsa itu buka 24 jam dan di pagi buta Maulana sudah datang membawakan kue-kue
buatan ibunya untuk dijual di sana. Hal itu memang merupakan kegiatannya setiap
hari. Karena ia hanya hidup dengan ibunya semenjak ditinggal sang ayah untuk
selama-lamanya.
“Wa’alaikum
salam, iya sebentar”, Bang Doni yang masih memakai sarung menghampiri Maulana
yang sudah 5 menit menunggu di depan.
“Yah
bagaimana sih bang, tokonya nggak dijaga begini”, kata Maulana berbasa-basi,
sambil meletakkan keranjang berisi kue-kue di atas meja panjang yang terbuat
dari kaca itu.
“Abang
tadi baru selesai sholat subuh, maaf ya kalau lama”, kata Bang Doni sambil
memindahkan keranjang kue tersebut.
“Saya
nitip kue nya ya, bang”, kata Maulana sebelum pergi.
“Sip,
belajar yang benar ya!”, Bang Doni menepuk kepala Maulana dengan lembut sebelum
anak itu melanjutkan perjalanannya ke sekolah.
Maulana melangkahkan kakinya yang hanya
dibalut dengan sepatu yang sudah ditambal berkali-kali. Kaus kakinya pun sudah
mulai kendor dan berwarna kekuningan. Ia memang berasal dari keluarga yang
kurang mampu. Namun ia tetap bersemangat pergi ke sekolah pagi itu.
Begitu sampai di kelas, ia melihat beberapa
teman sekelasnya berkumpul di tempat duduknya dengan Sabam. Ia berjalan mwnuju
tempat duduknya itu.
“Wah
keren, Sabam sudah punya handphone! Ah nanti aku minta ke mama ah!”, seru salah
seorang murid yang meninggalkan tempat itu.
Sabam melihat wajah Maulana di antara wajah
teman-temannya yang mengerubunginya itu.
“Mauul!!
Eh minggir, sobatku sudah datang!”, Sabam segera berdiri dan menyapa sahabatnya
itu.
Seketika
anak-anak yang tadi berkumpul di tempat mereka langsung pergi. Maulana menaruh
tasnya di atas kursi. Teman sekolahnya memang kebanyakan anak orang kaya. Namun
tidak cukup baik untuk mau berteman dengan anak orang miskin. Berbeda dengan
Sabam yang menerima Maulana apa adanya sebagai temannya
“Katanya
kamu baru dibelikan handphone baru ya, Bam?” tanya Maulana.
“Ah
handphone jelek saja kok!”, kata Sabam merendah.
Sabam segera memasukkan ponsel barunya itu
ke dalam tas ketika temannya selesai meminjam benda tersebut. Ia memang tidak
suka pamer, apa lagi di depan Maulana. Kehebohan tadi pun terjadi hanya karena
ada salah seorang murid iseng yang tak sengaja melihat Sabam menelepon dengan
handphone barunya itu lalu ia memberi tahu murid-murid yang lain mengenai handphone baru itu. Untuk ukuran
murid kelas 4 SD seperti mereka saat itu, mempunyai ponsel merupakan hal yang
sangat hebat.
Maulana membayangkan andaikan dirinya bisa
seperti Sabam. Andai saja ia terlahir di keluarga kaya. Ia pun tidak perlu
menjual kue dan repot-repot menjualnya. Belum lagi sekarang ibunya sedang
sakit-sakitan. Sejujurnya ia merasa miris melihat keadaan ibunya di rumah,
Sudah beberapa hari pula ia tidak menggunakan uang sakunya untuk makan di
sekolah agar bisa menabung untuk membeli obat untuk ibunya.
Waktu itu, sempat sekali ibunya pergi ke
dokter. Namun ternyata tagihannya sangatlah mahal. Terpaksa uang mereka untuk
makan sebulan habis begitu saja. Sejak itu, ibunya tidak mau lagi pergi ke
dokter. Maulana tidak pernah menceritakan masalah itu pada siapapun, termasuk
Sabam sahabat baiknya. Ia tahu bahwa ibu Sabam adalah seorang dokter namun ia
cukup tahu diri untuk tidak meminta apapun darinya. Ia selalu mengingat
perkataan ayahnya, “Biarpun kita miskin, kita tidak boleh meminta-minta pada
orang lain”
Sore harinya, Maulana kembali mendatangi
counter pulsa Bang Doni. Ia ingin mengambil keranjang kue yang dititipkan tadi
pagi.
“Ini
Ul, uangnya. Hari ini kue nya habis loh!”, kata Bang Doni sambil menghitung
uang yang terkumpu; lalu memberikannya pada Maulana.
“Terima
kasih”, Maul kembali menghitung uang yang diberikan. Mengalikan harganya dengan
jumlah kue yang ada lalu membagi dua puluh persennya untuk Bang Doni.
“Bang
ini kelebihan kayaknya”, ujar Maulana.
“Hari
ini abang nggak ambil untung. Buat kamu saja”, jawab Bang Doni sambil menaikkan
kedua alisnya dan tersenyum.
“Terima
kasih banyak, bang!”, Maulana tersenyum senang lalu mengamankan uang tersebut
di dalam tasnya.
“Bang
aku boleh duduk di sini sebentar, kan? Capek banget”, kata Maulana sambil
merenggangkan kakinya.
“Iya,
silakan”
Maulana duduk menghadap jalan raya. Di
hadapannya berdiri sebuah rumah sakit. Mobil-mobil mewah keluar masuk rumah
sakit tersebut. Maulana menundukkan wajahnya, ia berpikir mengapa dunia begitu
tak adil, mengapa jaminan kesehatan hanya dimiliki orang-orang berkantung tebal
saja.
Ia segera sadar dari lamunannya saat
seseorang memberhentikan motornya di depan counter pulsa itu. Orang itu memakai
jas motor dan bertubuh tinggi besar. Ia melepas helmnya lalu duduk di atas
salah satu kursi di sebelah Maulana.
“Ada
yang bisa dibantu, pak?”, tanya Bang Doni.
“Saya
mau jual handphone”, kata orang itu sambil meletakkan handphone nya di atas
meja kaca itu. Bang Doni mengambilnya dan memerhatikan keadaan fisik benda
tersebut. Sementara itu Maulana hanya mendengarkan percakapan tersebut walau
sebenarnya ia tidak mengerti apa yang dibicarakan. Hingga akhirnya handphone
milik bapak-bapak itu Bang Doni masukkan ke dalam meja kaca. Bapak-bapak itu
pun mendapatkan sejumlah uang lalu kembali pergi dengan motornya. Uang yang
didapat juga cukup banyak.
“Kok
abang ngasih uangnya banyak banget?”, tanya Maulana.
“Tadi
handphone-nya masih bagus, keluaran terbaru pula. Makanya harganya masih mahal
juga”, jelas Bang Doni.
“Oh
begitu ya, bang”, Maulana mengangguk.
Akhirnya ia pun memutuskan pulang dan
meninggalkan counter pulsa itu. Dalam perjalanan, ia memikirkan kejadian tadi.
Tiba-tiba ia teringat akan handphone baru milik Sabam.
“Kalau
handphone nya masih baru dan bagus, harganya mahal pula”, kata Maulana dalam
hati.
Tiba-tiba
ia menghentikkan langkah kakinya.
“Astagfirullah,
Maul.. Aku mikir apa sih? Nggak mungkin kan aku menjual handphone Sabam! Itu
sama saja dengan mencuri!”, Maulana menepuk dahinya.
Ia
beristigfar berkali-kali untuk membuang pikiran negatifmya tersebut jauh-jauh.
Hari-hari pun berlalu, kini Maulana harus
berjuang lebih keras lagi mengingat penyakit ibunya yang semakin parah. Mau
tidak mau Maulana belajar cara membuat kue sendiri. Paling tidak pekerjaan
ibunya semakin ringan dengan bantuannya. Kalau tidak bekerja sama sekali , akan
makan apa ia dan ibunya?
Tetapi tidak pernah sekalipun Maulana menunjukkan
wajah lelah dan kesal di depan ibunya. Pagi itu, Maulana sarapan bersama ibunya
di kamar.
“Sudahlah,
Ul, tidak perlu bantu ibu buat kue lagi. Nanti kamu capek. Lebih baik kamu
banyak belajar supaya nanti dewasa bisa jadi orang kaya. Tidak seperti orang
tuamu”, kata wanita berwajah pucat itu.
“Ibu
kan sakit, Maul nggak bisa bantu banyak buat ibu berobat. Makanya Maul mau
membantu ibu apa saja. Lagipula Maul senang kok sekarang bisa masak kue!”, kata
Maulana sambil tertawa.
Ibunya
hanya bisa tersenyum. Ia merasa seperti wanita paling beruntung di dunia bisa
memiliki anak sebaik Maulana. Memang ia tidak bisa memberikan banyak hal
materil pada anaknya itu, tetapi doanya sebagai seorang ibu tidak pernah
berhenti dicurahkan. Harapannya satu, ingin melihat Maulana hidup bahagia di
masa depannya nanti.
Hari itu, Maulana pulang paling terakhir. Ia
dihukum membersihkan kelas karena lupa mengerjakan PR. Akhir-akhir ini ia
memang sangat sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai “tukang kue”. Sabam tidak
bisa menemaninya karena harus pergi les.
“Loh
ini kan..”, Maulana melihat sebuah handphone tertinggal di dalam kolong meja
mereka.
“Handphone
nya Sabam ketinggalan!”, Maulana berseru sambil memerhatikan handphone tersebut
yang memang kepunyaan Sabam.
Yang
Maulana pikirkan saat itu adalah segera mengembalikannya. Namun rumah Sabam
jauh sekali dari sekolahnya. Tidak mungkin ia pergi ke sana sendirian tanpa
ongkos naik bis. Ia pun memutuskan membawa pulang handphone tersebut terlebih
dahulu.
Maulana kembali mendatangi counter pulsa
Bang Doni untuk mengambil hasil jualan kuenya. Hari itu keuntungan yang didapat
tidak begitu besar. Ketika uangnya sudah diberikan, Maulana masih belum
meninggalkan tempat tersebut.
“Bang
Doni”, panggil Maulana.
“Iya,
Ul?”,sahut Bang Doni.
Maulana
menengok ke arah kanan dan kirinya. Tiba-tiba ada rasa penasaran di dalam
hatinya untuk mengetahui berapa harga handphone milik Sabam yang ia bawa.
“Bang,
kalau handphone seperti ini dijual jadi berapa?”, tanya Maulana sambil
mengeluarkan handphone tersebut dari kantung celananya.
“Wah,
sejak kapan kamu punya handphone, Ul?”, Bang Doni menerima handphone tersebut
dan memerhatikan handphone tersebut.
“Bu-bukan
handphone aku itu! Punya temanku ketinggalan di sekolah tadi”
“Oh
begitu. Kalau ini dijual harganya bisa sekitar lima ratus ribu”, kata Bang Doni
lalu mengembalikan handphone tersebut.
“Lima
ratus ribu?”, ulang Maul. Tidak pernah Ia memegang uang sebanyak itu seumur
hidupnya. Ia teringat akan ibunya di rumah. Lima ratus ribu sudah pasti cukup
untuk biaya berobat ibunya.
“Iya,
lima ratus ribu”, Bang Doni mengiyakan.
“Ya
sudah aku cuma tanya aja kok bang. A-aku duluan ya, permisi”, Maulana segera
membawa keranjang kuenya dan pulang ke rumah.
Malam itu Maulana habiskan dengan mengerjakan
tugas-tugasnya. Sesekali matanya melirik pada sebuah ponsel yang ia letakkan di
atas tempat tidurnya. Seketika melihat ponsel itu, yang ia ingat adalah uang
sebesar lima ratus ribu yang bisa ia dapat dengan mudah.
“Kalau
dipikir-pikir, Sabam kan orang kaya.
Pasti ia bisa beli lagi handphone seperti itu, bahkan yang lebih bagus dari
itu”, gumam Maulana.
Tiba-tiba
handphone itu berbunyi dan mengagetkan Maulana. Ia segera melihat siapa
peneleponnya.
“Mama?
Eh jangan-jangan ini mamanya Sabam yang telepon!”, Maulana mulai panik, ia
menutupi ponsel itu dengan bantal agar suaranya tidak berisik.
Lama-lama suara itu tak terdengar lagi dan
Maulana kembali mengerjakan tugasnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya malam
itu sehingga ia memutuskan untuk menjual handphone itu esok hari. Toh Sabam
tidak tahu kalau handphone itu ada pada dia.
“Dasar
maling! Aku nggak nyangka kamu setega itu, Ul!”, bentak Sabam penuh amarah.
“Tu-tunggu Bam!”, Maulana berusaha menjelaskan apa yang
terjadi.
Teman-teman
sekelasnya mencibir dan menjauhi dirinya.
“Makanya
aku nggak pernah mau berteman dengan orang miskin. Orang miskin itu pasti
maling!”
“Eh
Maul, kalo miskin mendingan nggak usah sekolah di sini saja! Sana kerja saja
jadi kuli bangunan hahahahaha!”
Maulana
menutup telinganya. Ia tidak kuat mendengar cemooh dan hinaan yang memang
pantas ditujukan padanya. Ia pun berlari keluar kelas. Semua orang di sekolah
yang melihatnya menatapnya dengan tatapan aneh dan penuh kebencian. Air mata mulai membasahi pipinya saat ia
berlari keluar dari gerbang sekolah. Yang ia tahu, ia hanya berlari dan berlari
hingga ia sampai di depan rumahnya yang pintunya terbuka. Ibunya masih
sakit-sakitan padahal sudah dibelikan obat,namun tidak setetes pun obat itu
yang ibunya sudi minum. Maulana merasakan sakit yang teramat sangat di hatinya.
Ia membuka pintu kamarnya dan melihat seseorang yang sudah lama tak ia lihat.
Tanpa ia sadari, air matanya terus berjatuhan.
“Bapak!”,
Maulana berlari ingin memeluk bapaknya itu.
“Pak,
Maul takut, pak. Semua orang benci Maul”, Maulana menangis di dalam pelukan
ayahnya. Ayahnya tidak menjawab apa-apa namun ia mengelus kepala anaknya itu.
“Maul..
kamu lupa ya pesan bapak?”
“Pesan?”
“Biarpun
kita miskin, kita tidak boleh berbohong. Biarpun kita miskin, kita tidak boleh
meminta-minta. Biarpun kita miskin, kita juga tidak boleh mencuri”, kata
ayahnya dengan lembut.
Hatinya
bergetar hebat ketika mendengar perkataan itu hingga air matanya tak terbendung
lagi.
Maulana terbangun dari mimpi anehnya malam
itu. Pakaiannya basah dengan keringat. Nafasnya pun terengah-engah. Ia melihat
handphone milik Sabam masih ada di atas meja
kecil di sebelah tempat tidurnya. Tak sadar, air matanya pun menetes. Ia
menyesal pernah berniat menjual benda yang bukan miliknya itu. Segala kejadian
buruk di dalam mimpinya itu membuat dia
amat ketakutan hingga ia terbangun dari mimpinya. Ia pun kembali sadar bahwa ia
tidak dapat lagi memeluk ayahnya seperti di mimpinya itu. Maulana melihat jam
yang masih berdetak di dinding kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 12 tengah
malam. Hatinya merasa terpanggil untuk segera meminta ampun kepada Allah.
Dengan wajah yang masih basah dengan air mata, Maulana pergi mengambil wudhu
dan melakukan sholat malam di kamarnya.
Maulana sengaja datang lebih awal ke sekolah
pagi itu. Tepat seperti dugaannya, Sabam sudah datang terlebih dahulu. Wajah
temannya itu terlihat kusut dan Maulana tahu penyebabnya.
“Ul,
handphone ku hilang waktu pulang sekolah. Kamu lihat gak, Ul?”, tanya Sabam
dengan wajah melas.
“Oh
itu. Kemarin aku menemukannya di kolong meja kita. Karena takut hilang, aku
bawa pulang. Ini kok aku bawa!”, jawab Maulana segera membuka tas sekolahnya.
Wajah
Sabam berubah menjadi cerah kembali. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya
saat melihat handphone yang ia cari itu masih ada.
“Syukurlah
ternyata ada sama kamu ya Ul. Terima kasih banyak! Kalau nggak ada kamu pasti
handphone ku sudah hilang!”, Sabam menjabat tangan Maulana berkali-kali dan
mengguncang bahu temannya itu.
Hati
Maulana serasa penuh ketenangan. Ia tersenyum dan menjawab singkat ucapan
terima kasih dari temannya itu. Ia menaruh tasnya di kursi sebelah Sabam.
“Maulana,
kamu kenapa? Kayaknya kamu lagi ada masalah ya?”, tanya Sabam tiba-tiba.
Maulana
tertegun.
“Akhir-akhir
ini kamu jadi sering dimarahin guru dan nggak konsen kalau di kelas. Memangnya
ada masalah apa sih, Ul? Ayo cerita aja, kita kan teman!”, Sabam menepuk pundak
Maulana seolah semakin memaksanya untuk bercerita.
“Sebenarnya
aku sedang bingung. Ibuku sedang sakit dan kami tidak punya uang. Aku tidak
tega melihat ibuku seperti itu”, Maulana akhirnya mau bercerita untuk pertama
kalinya.
Sabam terdiam
dan memilih lanjut mendengarkan cerita Maulana hingga selesai.
“Kalau
begitu nanti malam aku dan mamaku akan ke rumah kamu. Ibu ku kan dokter. Siapa
tau bisa membantu”, kata Sabam sambil tersenyum.
“Ta-tapi”,
Maulana seolah tidak percaya dengan perkataan temannya itu.
“Sudah
, nggak usah sungkan! Ini sebagai balas budiku karena kamu sudah mengembalikan
handphone-ku!”, kata Sabam.
Tak
pernah Maulana sebahagia itu dalam hidupnya. Di malam hari, Sabam beserta orang
tuanya benar-benar datang ke rumah Maulana. Akhirnya ibunya pun dapat
berkonsultasi langsung dengan dokter dan mendapatkan obat agar bisa lekas
sembuh. Maulana amat bersyukur telah membatalkan niat buruknya waktu itu.
Ternyata kejujuran tidak akan pernah membawa kehancuran. Justru kebohongan lah
yang akan menjerumuskan diri ke dalam kesengsaraan. Sejak itu, Maulana dan
Sabam pun menjadi sahabat karib.
Eaaaa wahahahaha nggak nyangka manusia semacam gue bisa membuat cerita seindah ini. Gue kagum akan Maulana, keren banget dia.
Tapi kenyataannya, pas hari H, gue sama sekali nggak pake cerpen ini! Yes!! Pas diundi, cerpen yang gue dapet harus bertema "Ketulusan"!! Iya ketulusan!! Padahal sebenarnya cerita si Maulana ini bisa kepake untuk tema ketulusan, tapi ya sudahlah. Cerpen baru gue pun tidak lolos! Wuahahaha!!
Maka dari itu dari pada cerpen ini nggak kepake sama sekali, gue dengan suka rela membagi cerita ini untuk kita semua di blog tercinta ini. Buat adek-adek yang perlu cerpen bertema kejujuran, silakan copas cerita saya jika ini demi tugas kalian. Misalkan untuk dicari unsur intrinsiknya, silakan. Tapi jangan buat diklaim sebagai karya pribadi ya! Ingat kebohongan dapat membawa kita ke dalam kesengsaraan!!
Oke, nanti gue mau ngepost lagi karena bisa dibilang minggu ini merupakan minggu-minggu berkesan yang pernah ada. So, makasih udah mau membaca cerpen gue. and bye-bye!