Dalam rangka memeringati bulan bahasa Oktober lalu, sekolah gue ngadain berbagai lomba. Salah satunya lomba musikalisasi puisi. Sekolah gue emang "peduli" banget kalo soal musikalisasi puisi dibandingkan sekolah lain. Serius, sampe sekarang gue tanyain sepupu dan temen-temen gue tentang musikalisasi puisi di sekolah mereka tapi mereka bilang masih belom siap atau gimana lah.
Di sekolah gue, acara musikalisasi puisi begini udah dikasih tau dari pertama kali kita masuk kelas 9, dibentuklah beberapa kelompok dalam satu kelas. Gue di kelas 9-6, terpilih menjadi ketua salah satu kelompok karena gue bisa main gitar. Oh Gawd, gue cuma bisa genjreng-genjreng sebenernya!!
Awalnya setelah dibentuk kelompok, gue biasa aja dan nggak mau ambil pusing toh musikalisasi masih lama. Gue pikir itu acara bakal diadain tahun depan, ternyata diadainnya bulan Oktober! Paraaaah!!!
Gue baru dapet kesadaran buat ngurusin musikalisasi ini sekitar 4 minggu sebelum seleksi kelompok mana yang maju buat ditandingin dengan kelas lain. Hari-hari suram gue pun dimulai.
Kita harus memusikalisasikan puisi wajib yaitu Dengan Puisi Aku karya Taufik Ismail, sama satu puisi bebas. Untungnya untuk lagu kita boleh minjem lagu orang. Ternyata itu semua sama sekali nggak gampang. Tapi gue nggak mau lepas tanggung jawab sebagai ketua, gue pun mulai research lagu apa yang pas buat puisi-puisi itu.
Singkat cerita, gue pilih lagu yang gua nggak tau judulnya apa. Tapi gue dan kawan-kawan sebut lagu itu "Lagu Homo". Iya, karena lagu itu didapat dari sebuah film singkat homo Thailand, semacam video iklan kosmetik gitu. Menurut gue lagunya enak dan pas buat puisi Dengan Puisi Aku makanya gue pilih lagu itu. Ternyata nggak ada ruginya jadi fujoshi huahahahaha...
Anyway videonya bisa diliat di sini cuma 2 menitan kok.
Sebelum ngomongin lagu kedua yang gue pake buat puisi pilihan, gue mau cerita betapa cintanya gue sama lagu John Henry Cash yang judulnya My Grandfather's Clock.
Gue tau lagu itu waktu kelas 7 dari film kartun Chibi Maruko-chan yang kakak gue simpen di laptopnya. Saat itu, lagu tersebut dinyanyikan dalam Bahasa Jepang dengan judul Ookina Noppo No Furudokei.
Lagunya bener-bener indah, menyentuh hati gue dan alunan musiknya pun gampang diinget, walaupun gue nggak ngerti liriknya tentang apa.
Pas kelas 8, saat-saat di mana gue lagi demam Kpop, gue kembali mendengarkan lagu itu dari sebuah drama Korea yang judulnya Wild Romance. Saat itu ada adegan cowoknya buka kotak musik dan lagu yang keluar adalah lagu yang mengingatkan gue sama lagu yang pernah gue denger waktu kelas 7 dulu, My Grandfather's Clock! Akhirnya gue mulai sering nyari-nyari lagu itu dari berbagai versi mulai dari instrumentalnya sama versi lain di berbagai bahasa. Gue pun juga nyari partitur lagu My Grandfather's Clock buat dimainin di recorder atau pun piano. Waktu kelas 8 itu, gue kan gabung sama klub ensembel di sekolah, nah gue tuh berharap banget lagu My Grandfather's Clock bakal kepake buat lagu ensembel. Gue juga bermimpi bakal bisa bawain lagu ini ke orang-orang ya karena as you know lagu ini nggak begitu terkenal di Indonesia kalau dibandingkan dengan lagu-lagu klasik lain.
Oh ya, My Grandfather's Clock itu lagu klasik bikinan John Henry Cash pada tahun 1870 an kalau nggak salah. Cerita di balik lagu ini pun juga sedih. Seinget gue, cerita di balik lagu itu adalah tentang kakak beradik di London yang bekerja di sebuah hotel. Di lobby nya ada jam tua (lupa namanya apa), pokoknya mirip jam yang di The Conjuring dah. Jam itu beroperasi sangat baik meskipun udah berpuluh-puluh tahun. Selama beroperasi, jam itu diurusin dan dirawat oleh kakak beradik itu. Sampe suatu hari, salah satu dari kakak beradik itu meninggal dan jam itu mulai nggak beres. Kemudian saat keduanya udah meninggal, jam itu mati total dan sama sekali nggak bisa beroperasi meskipun udah coba diperbaiki. Namun jam itu masih dipasang di hotel tersebut biarpun udah rusak. Akhirnya, jam itu menjadi icon di hotel tersebut. Hingga ada seorang komposer lagu yang menginap di hotel itu dan mendengar kisah mengharukan di balik jam itu, ia pun mendapat inspirasi membuat lagu tentang jam itu hingga terciptalah lagu My Grandfather's Clock dengan mengubah sudut pandangnya seolah ia adalah cucu dari seorang kakek yang mempunyai jam tersebut.
Liriknya begini:
My grandfather's clock
Was too large for the shelf,
So it stood ninety years on the floor;
It was taller by half
Than the old man himself,
Though it weighed not a pennyweight more.
It was bought on the morn
Of the day that he was born,
It was always his treasure and pride;
But it stopped short
Never to go again,
When the old man died.
Ninety years without slumbering,
Tick, tock, tick, tock,
His life seconds numbering,
Tick, tock, tick, tock,
It stopped short
Never to go again,
When the old man died.
In watching its pendulum
Swing to and fro,
Many hours had he spent while a boy;
And in childhood and manhood
The clock seemed to know,
And share both his grief and his joy.
And it struck twenty-four
When he entered at the door,
With a blooming and beautiful bride;
But it stopped short
Never to go again,
When the old man died.
Ninety years without slumbering,
Tick, tock, tick, tock,
His life seconds numbering,
Tick, tock, tick, tock,
It stopped short
Never to go again,
When the old man died.
Ninety years without slumbering,
Tick, tock, tick, tock,
His life seconds numbering,
Tick, tock, tick, tock,
It stopped short
Never to go again,
When the old man died.
My grandfather said
That of those he could hire,
Not a servant so faithful he found;
For it wasted no time,
And had but one desire,
At the close of each week to be wound.
And it kept in its place,
Not a frown upon its face,
And its hand never hung by its side.
But it stopped short
Never to go again,
When the old man died.
Ninety years without slumbering,
Tick, tock, tick, tock,
His life seconds numbering,
Tick, tock, tick, tock,
It stopped short
Never to go again,
When the old man died.
It rang an alarm
In the dead of the night,
An alarm that for years had been dumb;
And we knew that his spirit
Was pluming his flight,
That his hour of departure had come.
Still the clock kept the time,
With a soft and muffled chime,
As we silently stood by his side.
But it stopped short
Never to go again,
When the old man died.
Ninety years without slumbering,
Tick, tock, tick, tock,
His life seconds numbering,
Tick, tock, tick, tock,
It stopped short
Never to go again,
When the old man died
Sedih ya liriknya TT_TT
Oke kita kembali ke topik soal musikalisasi puisi tadi. Di tengah kebingungan gue menentukan lagu kedua buat kelompok gue. Gue pun keinget partitur lagu My Grandfather's Clock yang bisa dimainin dengan suara 1 dan suara 2 lewat recorder maupun pianika. Partiturnya kayak gini:
Karena keterbatasan gue dalam mengaransemen lagu, akhirnya gue pake aransemen ini buat anak-anak rekordernya. Kita udah coba mainin musik ini tanpa tahu puisinya apa.
Gue nggak mau asal pilih puisi buat dimusikalisasikan dengan lagu itu. Sebisa mungkin gue pengen nyari puisi yang bahasanya ringan namun punya banyak makna. Bahkan gue sempet berpikir buat ngarang puisi sendiri.
Untungnya ada temen gue ngusulin sebuah puisi untuk dimusikalisasikan dengan lagu ini yaitu Rumahku karya Chairil Anwar.
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Kaca jernih dari segala nampak
Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemahku dirikan ketika senjakala
di pagi terbang entah kemana
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Di sini ku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu
Pas gue lihat-lihat, ternyata lagu ini pas banget sama lagu My Grandfather's Clock meskipun ada sedikit yang mesti dicepetin biar pas.
Akhirnya kita udah fix buat bawain lagu ini sebagai lagu kedua.
Ternyata latihan nggak segampang yang gue kira. Susah, ada aja halangannya. Plus, gue baru nentuin lagu ini seminggu sebelum hari seleksi dan selama seminggu itu juga ada UTS. Di hari terakhir UTS, guru Bahasa Indonesia nyeleksi kelompok buat dipentasin.
Dan ya ampun... itu adalah minggu paling stres yang pernah gue alamin! Gue punya tanggung jawab 10 anak yang mesti gue urus supaya paling nggak kita bisa tampil di hari Jumat. Mungkin bisa dibilang lebay tapi gue paling nggak bisa kalo punya tanggung jawab kayak begitu. Belom lagi gue dapet pressure dari kelompok-kelompok lain yang nampaknya udah mateng.
Gue merasa lagu yang kita bakal bawain aransemennya ancur dan kacau. Belom lagi pas latihan anak-anak pada kagak lancar dan banyak nggak seriusnya. Ditambah lagi tiba-tiba temen gue yang megang perkusi dirawat gara-gara DBD. Lengkap sudah.
Saking keselnya gue menyebut acara ini sebagai "musikampretisasi puisi". Hingga akhirnya gue memutuskan buat masa bodo aja. Sehari sebelum hari H, gue bawa gitar ke sekolah buat latihan. Gue udah pasrah aja deh sekalinya anak-anak itu mainnya kagak bener. Akhirnya kita coba main bersama-sama dan ternyata.... mereka bisa main dengan lancar dan pas. Gue terharu, terharu banget. Ternyata mereka juga sering latihan biarpun gue nggak ada. Gue terharu banget TT_TT
Saat itu semangat gue pun kembali. Gue namain kelompok itu "Kelompok Homo" karena salah satu lagunya adalah soundtrack film homo.
Hingga tiba hari H, kelompok gue dan kawan-kawan tampil terakhir. Selama nontonin penampilan kelompok temen-temen gue yang lain, gue jadi ciut. Pedemeter gue turuun! Well, meskipun nggak seperti yang gue harapkan, kita bisa tampil di depan kelas. Yang terpenting, kita nggak cupu dengan nunjukin bahwa kelompok kita bisa tampil.
Akhirnya ditentuin lagu kelompok mana yang akan dipake sebagai lagu untuk puisi wajib dan puisi bebas. Sesuai prediksi gue, lagu untuk puisi wajib kepilih dari kelompok temen gue yang namanya Dio. Gue akuin emang kelompok mereka keren banget. Tanpa diduga lagu yang kepilih buat puisi bebas adalah kelompok gue.
Gue pasang wajah datar antara seneng atau biasa aja karena gue mikir guru gue milih kelompok gue karena nggak ada lagu yang mendingan atau gimana. Nggak ngerti yang jelas 2 lagu itu yang bakal ditampilin.
Kita pun bongkar pasang formasi buat nampil di panggung nanti.
Ternyata tekanan batin gue belom berakhir karena entah kenapa anak-anak lain kayak nggak suka lagu gue dan lebih suka lagu kelompok gue yang namanya Molatur. Gue sih orangnya sabar banget jadi nggak apa-apalah.
Dio, temen gue yang (katanya) jago musik dan punya suara yang amat amat sangat... standar dan skill yang sangat amat... biasa, berperan serta dalam mengaransemen lagu Rumahku itu.
Akhirnya setelah perjuangan panjang yang kita hadapi sama-sama itu, kita dapet juara 1 saat lomba musikalisasi antar kelas di sekolah! Yeeeeey!!!! Kita pun dapet kesempatan tampil untuk memeringati bulan bahasa se-Kota Bekasi yang diadain di sekolah gue. Sayangnya gue gak ikut karena gue harus ikut lomba lain, sedih TT_TT
Tapi gue seneng karena lagu My Grandfather's Clock yang dulu cuma gue nikmati sendiri kini bisa didenger oleh orang-orang yang belum tahu lagu itu. Mimpi gue buat menyebar luaskan lagu itu terkabul huahahahaha, bahkan punya versi Indonesia nya yaitu dengan lirik dari puisi Rumahku - Chairil anwar. Hal itulah yang membuat gue terharu banget.
Oh ya videonya udah diupload di Youtube, ini adalah link puisi pertama yang berjudul Dengan Puisi Aku yang diaransemen dengan lagu Akon - Sorry, Blame It on Me
1) Musikalisasi Puisi - Dengan Puisi Aku
Lalu musikalisasi puisi Rumahku yang diaransemen dengan lagu My Grandfather's Clock
2) Musikalisasi Puisi - Rumahku
Dan begitulah pengalaman gue dalam berpartisipasi dalam acara Musikalisasi Puisi. Dari sederet kejadian itulah gue belajar banyak dari pentingnya menghargai waktu, tentang persahabatan, kekompakan, dan kerja keras. Ternyata, kerja sama adalah kunci dari suksesnya sebuah kelompok. Nggak perlu harus ada orang jenius atau pinter, selama semua yang tergabung itu punya semangat untuk mewujudkan tujuan bersama pasti bakal mendapatkan hasil yang baik juga nantinya, eaaaaaa.
Oke deh, mudah-mudahan yang nonton video tadi bisa dapet referensi buat yang mau ada acara musikalisasi puisi juga. See you!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar